Kehidupan keluarga Jusper Simamora lebih dari kecukupan, pekerjaan yang
sudah mapan membuat keluarga ini bisa menikmati indahnya dunia.
Kehidupan sosial pun terangkat karena sepasang suami istri dengan 2 anak
tersebut menjadi Majelis Gereja selama 15 tahun di Pekanbaru. Namun,
indahnya dunia mulai dirasakan berkurang seiring dengan penyakit yang
diderita oleh sang suami. Berawal dari Hepatitis kemudian lever dan
akhirnya kanker hati mulai menggerogoti.
Sejak saat itu satu persatu harta yang dimilikinya mulai dijual. Mulai
dari motor, mobil kemudian merembet pada isi rumah, hingga akhirnya
rumah di Pekanbaru pun terjual untuk biaya pengobatan di RS Panti Rapih
Yogyakarta. Pun demikian, harta yang dimiliki tidak cukup utuk membiayai
rumah sakit. Hutang pun tak terhindarkan, mulai dari ratusan ribu
hingga jutaan rupiah. Kian hari hutang makin menumpuk, sudah tidak ada
lagi harta yang bisa digunakan sebagai agunan, kecuali asuransi yang
bisa dijadikan pegangan untuk mengembalikan hutangnya.
Hampir putus asa dengan kondisi sakitnya dan semakin menggunungnya
hutang pada beberapa pihak, memaksa keluarga ini untuk menempuh jalur
yang tidak benar. Sang suami memerintahkan kepada isterinya untuk
membuat Surat Kematian, agar nantinya dengan Surat Kematian tersebut
bisa digunakan untuk klaim ke pihak asuransi.
Jalan pintas tersebut akhirnya ditempuh, bermodal Surat Kematian yang diterbitkan oleh pihak Kepala Desa akhirnya
Yustina
yang tak lain adalah isteri dari Jusper memberanikan diri ke asuransi
B*****. Pihak asuransi pun segera menindaklanjuti surat kematian
tersebut, hingga akhirnya pihak ausransi di Pekanbaru memutuskan tidak
bisa mencairkan asuransi tersebut karena setelah dicek kebenarannya, si
suami masih dirawat di rumah sakit. Hingga akhirnya Jusper mati dalam
kondisi kristen dan klaim asuransi belum cair.
Sepeninggal suaminya pada 14 April 2014,
Yustina mulai mengingat
kembali masa mudanya 20 tahun silam. Masa dimana Yustina masih biasa
sholat maghrib di surau bersama teman-teman sebayanya. Namun masa muda
yang berada di jalan lurus tersebut akhirnya harus dia akhiri ketika
harus mengenal sosok Jusper muda yang beragama kristen.
Sejak saat itulah Sri Waljiyati berubah nama dengan nama baptis menjadi Yustina dan mengikuti jalan bengkok yang dianut Jusper.
Ramadhan 2014 menjadi masa perenungan bagi Yustina untuk bisa lebih
mendekat kepada sang Maha Pencipta, masa 20 tahun adalah masa-masa di
mana hatinya merasa gersang meskipun harta cukup berlimpah. Hingga
akhirnya hidayah Allah turun tepat pada hari raya Idul Fitri 2014 lalu
Yustina dan kedua anaknya mengucapkan kalimat syahadat di depan jamaah
masjid di bilangan Yogyakarta.
Namun cobaan yang harus dialami oleh Sri Waljiyati tidak berhenti sampai
disini. Pihak keluarga Jusper tidak terima dengan keputusan yang
diambil oleh Sri Waljiyati dan kedua buah hatinya dengan kembali memeluk
agama tauhid. Adik Jusper mencari celah untuk bisa memenjarakan kakak
iparnya tersebut. Surat kematian yang pernah dibuat oleh keluarga
tersebut dijadikan adik Jusper untuk memidanakan Sri Waljiyati.
Pihak pelapor –Lamaasi Saut Simamora—yang merupakan adik suami tersangka
mengajak berdamai. Namun ajakan damai tersebut bukan tanpa syarat. Sri
Waljiyati dipaksa berdamai dengan syarat harus menyerahkan hak asuh
anaknya –yang sudah bersyahadat (masuk Islam) bersama ibunya tersebut-
diberikan kepada keluarga suaminya yang beragama nasrani.
Penegakan hukum dengan dakwaan berlapis dugaan memberikan keterangan
palsu ke dalam akta otentik berupa Surat Kematian dan atau menggunakan
surat palsu yang dapat merugikan pihak lain terasa janggal sebab dalam
hal ini tidak ada pihak yang dirugikan. Pihak asuransi tidak dirugikan
karena Surat Kematian tersebut sebelum menyebabkan kerugian telah
diambil oleh Kepala Desa, dan Kepala Desa telah menyatakan Surat
Kematian tersebut dicabut dan tidak berlaku lagi.
Belakangan diketahui motif pelaporan kasus yang semestinya tidak
memenuhi unsur pidana yang dituduhkan tersebut dan yang berujung pada
penahanan Sri Waljiyati adalah hanya sebagai bargaining. Hal ini
terungkap ketika Pengacara Pelapor bernegosiasi dengan Pengacara Sri
Waljiyati. Pengacara Pelapor menyampaikan pesan Pelapor bahwa dia akan
mencabut Laporan Polisi dan berarti perkara yang dituduhkan dengan
sendirinya akan berhenti jika Sri Waljiyati mau menyerahkan kedua buah
hatinya kepada keluarga besar Pelapor. Namun Sri Waljiyati dan kedua
anaknya tidak mau memenuhi permintaan Pelapor. Sebab, jika memenuhi maka
berarti akan menyerahkan perwalian kedua anaknya kepada keluarga
Nasrani dan sangat mungkin akan ada pemaksaan secara sistematis agar
kedua anak tersebut menganut agama Nasrani.
Sri Waljiyati dan kedua anaknya memilih jalan hidayah meski sang ibu
harus mendekam di penjara dan sang anak harus hidup sederhana bersama
pamannya yang muslim.
Sudah 6 pekan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sri Waljiyati mengisi
waktunya untuk mendekatkan diri kepada sang Kholiq, puasa senin kamis
senantiasa dilazimi, sedangkan di sepertiga malam digunakan untuk
qiyamul lail. Untuk buka puasa Sri menunggu jatah kiriman dari sepupunya
yang hanya seorang karyawan di barbershop, sedangkan untuk sahurnya Sri
Waljiyati minum air putih dan sisa makanan sore hari sebelumnya. Snack
yang disediakan oleh lapas yang berupa singkong rebus diambil oleh Sri
Waljiyati yang selanjutnya diiris kecil-kecil dengan menggunakan sendok
plastik, kemudian dijemur.
Ketika sepupunya mengantar makanan singkong yang sudah kering tersebut
dibawa pulang sang sepupu untuk digoreng dan selanjutnya dibawa lagi ke
Lapas digunakan untuk cadangan snack.
Dzaki (nama hijrah dari Andreu Eros Perikes) anak kedua Sri Waljiyati
yang masih duduk dibangku kelas 2 SD ikut beserta rombongan kami
menjenguk ibundanya asik makan snack singkong yang dibawa untuk
ibundanya (sang kakak tidak ikut karena sedang sekolah, di bangku
sekolah yakni kelas 2 SMP). Hati kami benar-benar terenyuh saat itu,
anak sekecil itu sudah harus menghadapi hal yang sulit.
Untuk biaya sekolah kedua anaknya belum terbayar sejak suami Sri masuk
ke Rumah Sakit. Untuk makan sehari-hari sepupu Sri lah yang menyokong,
jatah makan untuk satu hari Rp 6.000,- dengan kondisi suami Sri
terbaring di RS. Kondisi ini semakin parah ketika Sri mulai masuk ke
lapas, sepupu Sri yang hanya seorang tenaga potong rambut jauh dari
kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sri mulai sadar bahwa yang dialaminya ini adalah teguran dari Allah.
Kalau Allah menghendaki dia bebas dari penjara dia akan mengabdi untuk
pondok pesantren. Sri berucap, “Hidup saya hanya untuk Allah mas.
Selepas saya dari penjara, saya dan anak-anak akan saya ajak untuk hidup
di pondok pesantren. Saya sudah pernah merasakan nikmatnya dunia,
saatnya saat mengabdikan diri dan keluarga untuk Islam.”
Saat ini Sri sedang membutuhkan dukungan moril, dan tentunya dukungan
materi. Selain untuk biaya hidup sehari-hari juga untuk membiayai
pendidikan kedua anak Sri yang masih duduk di bangku sekolah. Semoga
kita dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk bisa saling membantu sesama kaum
muslimin.
Mari kita doakan ibu Sri tabah menghadapi ujian ini, dukungan moril
sangat dibutuhkan keluarga ibu Sri. Dukungan materi akan sangat membantu
anak-anak ibu Sri melanjutkan pendidikannya.
Bagi yang mau membantu bisa ke Rekening SolidaritasMuslim: BNI
0351535888, BSM 7054129038 a.n. Muhammad Idris. Konfirmasi: 0812 2718
2211.
Demikian rilis yang diterima Fimadani. (27 Oktober 2014)
*SUMBER :
http://news.fimadani.com/read/2014/10/27/sri-waljiyati-mualaf-yang-dipenjara-karena-keislamannya/