Hattrick. Kata itulah yang terlintas di benak saya saat hasil suara PKS
dalam pemilu legislatif diumumkan tadi malam. Dari mulut Ketua KPU Husni
Kamil Manik terucap angka 8.480.204 suara yang diperoleh PKS.
Ini untuk kali ketiga PKS mendapatkan suara di kisaran 8 juta. Pada
pemilu 2004 memperoleh 8.206.020 suara dan pada pemilu 2009 mendapat
8.206.955. Bagaimana kita menafsirkan ini?
Agar tidak salah tafsir, kita harus melihat --meminjam istilah Priyo
Budi Santoso-- suasana kebatinan masing-masing pemilu. Mari kita lihat
satu per satu.
Pemilu 2004 konflik antara Megawati dan SBY mewarnai dinamika kala itu.
SBY menjadi media darling dan kian melejit namanya saat istilah
"Jenderal Kok Cengeng" terlontar dari bibir mendiang Taufik Kiemas. SBY
mendapat simpati publik. Citranya semakin positif. Bisa dibilang, pemilu
2004 menjadi titik awal bagi upaya pencitraan massif capres dan SBY
sebagai ikonnya.
Imbasnya, Partai Demokrat yang didirikan SBY mendapat duruan runtuh.
Baru ikut pemilu pertama kali, partai berlambang mercy itu memperoleh 7%
suara.
PKS pun mengalami lonjakan serupa. Tidak lolos
parliamentary treshold dalam pemilu 1999 sehingga harus berganti nama dari PK ke PKS, partai ini melejit.
Dalam pemilu 2009, sosok SBY begitu dominan, tak memiliki lawan
setimpal. Semua partai terkena tsunami Demokrat karena suaranya turun.
Hanya dua partai yang naik: PD dan PKS.
Pemilu 2014 berlangsung saat badai dahsyat masih menyisakan perih di
tubuh PKS. Kurang lebih satu tahun jelang pemilu, Presiden PKS
dikriminalisasi dengan tuduhan suap. Citra PKS merosot drastis. Tapi
kapal yang diharapkan karam oleh musuh-musuhnya itu justru mampu
bertahan dan terus berlayar. Dan angka 8 juta kembali didapat.
Banyak pihak yang menafsirkan bahwa suara PKS stagnan, mandek dan tidak
mengalami perkembangan. Pendapat ini benar jika kita melihatnya pada
perolehan suara an sich. Tapi, jika kita melihat secara menyeluruh
termasuk suasana kebatinan setiap pemilu, maka pendapat di atas perlu
dikoreksi.
Dua pemilu terakhir kita mengalami suasana yang tak normal. Jika pemilu
2009 semua partai coba dibumihanguskan, maka dalam pemilu 2014, terlihat
jelas PKS yang menjadi satu-satunya partai yang ingin dihabisi.
Bercermin dari itu, angka 8 juta memiliki bobot berbeda. Pemilu 2004
ibarat ujian SD, lalu naik level ke SMP pada 2009 dan ujian SMA pada
pemilu 2014. Jenjang yang berbeda tentu saja memiliki soal yang juga
berbeda kualitasnya. Dan cara kita menjawab soal pun berbeda pula.
Pemilu 2004 boleh dibilang suasana yang relatif bebas bagi PKS.
Musuh-musuh tak memperhitungkan mengingat dalam pemilu sebelumnya tak
lolos PT. PKS tak begitu diperhatikan sehingga suaranya melonjak
drastis.
Angka 8 juta kala itu merupakan suara publik yang berharap besar PKS
membawa perubahan. Dan suara itu terus bertahan pada pemilu selanjutnya
dengan tingkat ujian yang sungguh luar biasa.
2004 periode publik yang berharap besar. Tahun 2009 masa ketika publik
masih berharap pada PKS meski SBY menerjang dengan gelombang tsunaminya.
Dan pada 2014, suara itu tetap bertahan pada saat yang menurut saya
menjadi critical mass PKS. Ini sungguh fenomenal.
Critical mass PKS sudah kita lalui. Kita berharap, pemilu 2019 suasana
kebatinannya berlangsung normal tanpa prahara. Jika itu yang terjadi,
kita layak meniup balon optimisme akan melambungnya suara PKS. Tentu
saja dengan syarat evaluasi internal dilakukan dan hasilnya dieksekusi
dengan optimal.
Bukankah kita tak mau membuat quatrick dengan empat kali berturut-turut memperoleh 8 juta suara?
By:
Erwyn Kurniawan
Follow
@Erwyn2002 on Twitter