(INSANIYYATUL INSAN)
Oleh : Abi AbduLLAAH Nabil Al-Musawa
Muqaddimmah
Dalam beberapa kesempatan memberikan taujih, sering ada ikhwah yang bertanya pada saya : “Mengapa al-ustadz Fulan setelah menempati posisi eksekutif atau legislatif menjadi ifrath (berlebih-lebihan)?” Atau : “Mengapa al akh Fulan saat sekarang menjabat di struktur tingkat anu, tazkiyyah nafsiyyah-nya menjadi dha’f (lemah)?”, dan seterusnya…
Pertanyaan-pertanyaan di atas awalnya biasa-biasa saja, yaitu fenomena ikhwah dan akhwat yang membandingkan antara ustadz yang menjabat di suatu jabatan tertentu dengan yang tidak menjabat ada perbedaan perilaku, penampilan dan gaya hidup. Namun hal-hal tersebut nampaknya semakin meruncing, entah (semoga saja) karena ghirah ikhwah pada saudaranya, atau karena sebab yang lain.. ALLAAHu a’lam bish Shawaab.
Hal yang perlu difahami oleh ikhwah sekalian terkait dengan fenomena penyimpangan-penyimpangan di kalangan ikhwah tersebut adalah : Apakah penyimpangan tersebut sudah sampai mukhalifu li ahkam asy-syari’ah (menyimpang dari hukum syari’ah) atau hanya dalam masalah-masalah afdhaliyat wa tahsinat (keutamaan dan kesempurnaan) saja? Jika penyimpangan tersebut sudah sampai tingkat melanggar hukum, maka hendaklah diberi nasihat, ditegur sampai pada tingkat ditegakkan mu’aqabat (hukuman) yang tegas pada pelanggaran tersebut.
Namun jika hanya pada level tahsinat seperti kurang bisa zuhud, kurang sensitif pada ikhwah yang lain atau yang semacamnya, maka tentulah penanganannya tidak perlu sampai berlebih-lebihan. Untuk lebih menjelaskan hal ini ada sebuah konsep yang disebut oleh seorang masyayikh-dakwah sebagai konsep “Insaniyyatul Insan” (Bagaimana menyikapi manusia sebagai manusia, bukan sebagai malaikat), yang insya ALLAAH dapat “sedikit menenangkan” ghirah yang tinggi dari sebagian ikhwah wa akhwat, sambil kita tetap berusaha dengan sabar melakukan tawashaw bilhaqq, bishshabr, wabil marhamah pada saudara-saudara kita yang menyimpang tersebut.
Dalil-dalil Al-Qur’an tentang kekurangan-kekurangan manusiawi
Pertama, manusia diciptakan bersifat lemah (dha’if) :“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS An-Nisa’, 4/28)
Kedua, manusia diciptakan bersifat pengeluh-kesah :“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah.” (QS Al-Ma’arij, 70/19-20)
Ketiga, manusia diciptakan bersifat kikir :“Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS Al-Ma’arij, 70/21)
Keempat, manusia diciptakan bersifat isti’jal (ingin cepat beres) :“Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan, dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa. ” (QS Al-Isra’, 17/11)
Serta masih banyak lagi arahan-arahan qur’aniyyah yang dapat kita renungkan dan tadabburkan maknanya yang amat dalam, sehingga kita tidak bersikap perfeksionis dan menganggap agar semua kader atau bahkan semua manusia haruslah menjadi qa’idah-shalbah (kader-kader puncak) yang memiliki soliditas dalam segala sisinya, hendaklah kita mampu membuka diri dan dakwah ini agar ia dapat menjadi rahmatan lil ‘alamiin, sehingga orang yang paling lemah keislamannyapun mampu bergabung dan berteduh serta menikmati naungan dari dakwah ini.
Dalil-dalil As-Sunnah tentang kekurangan-kekurangan manusiawi
Pertama, hadits tentang manusia ibarat berbagai jenis barang tambang:
Telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Ibrahim, telah mengkabarkan pada kami Jarir dari ‘Umarah dari Abi Zur’ah dari Abi Hurairah -semoga ALLAAH Yang Maha mulia lagi Maha Tinggi meridhoinya- dari Nabi Muhammad -semoga shalawat ALLAH serta salam senantiasa tercurah pada diri beliau- bersabda : “Kalian akan dapatkan manusia itu bagaikan bahan dasar, maka yang terbaik (bahan dasarnya) diantara mereka sejak Jahiliyyahnya akan menjadi yang terbaik pula di masa Islam jika mereka faqih..[1]“
Telah menceritakan padaku Zuhair bin Harb, telah menceritakan pada kami Katsir bin Hisyam, telah menceritakan pada kami Ja’far bin Burqan, telah menceritakan pada kami Yazid ibnul Ashamm dari Abu Hurairah melalui hadits yang dimarfu’kan (pada nabi -semoga shalawat ALLAH serta salam senantiasa tercurah pada diri beliau-) bersabda : “Manusia itu ibarat bahan dasar, seperti bahan dasar perak dan emas, maka mereka yang terbaik di masa Jahiliyyahnya akan menjadi yang terbaik pula setelah Islamnya jika ia faqih, dan ruh-ruh manusia itu bagaikan prajurit dalam sebuah batalyon tempur, maka siapa yang saling mengenal (ada kesamaan sifat) akan saling mendekat dan yang saling berbeda (sifat-sifatnya) akan saling berselisih.[2]“
Kedua, hadits unta rahilah (unta pembawa beban berat):
Telah menceritakan pada kami Abul Yaman, telah mengkabarkan pada kami Syu’aib dari Az-Zuhri berkata, telah mengkabarkan padaku Salim bin AbdiLLAAH bahwa sesungguhnya AbdaLLAAH bin Umar -semoga ALLAAH Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi meridhoi mereka berdua- berkata : Aku mendengar RasuluLLAAH -semoga shalawat ALLAH serta salam senantiasa tercurah pada diri beliau- bersabda : “Sesungguhnya manusia itu bagaikan 100 ekor unta, hampir-hampir tak kau temukan di antara mereka yang benar-benar rahilah (unta pembawa beban berat).[3]“
Telah menceritakan padaku Muhammad bin Rafi’ dan ‘Abd bin Humaid dan lafzhnya dari Muhammad berkata ‘Abdun telah mengkabarkan pada kami dan berkata Ibnu Rafi’ telah menceritakan pd kami AbduRRAZZAQ telah menceritakan pada kami Ma’mar dari Az-Zuhri dari Salim dari Ibnu Umar berkata : Bersabda rasuluLLAAH -semoga shalawat ALLAH serta salam senantiasa tercurah pada diri beliau- : “Kalian akan dapatkan manusia itu bagaikan 100 ekor unta, tak ditemukan oleh seseorang diantara mereka itu yang rahilah (unta pembawa beban berat).[4]“
Ketiga, hadits nasihat Nabi -semoga shalawat serta salam atas beliau- pada sahabat Hanzhalah -semoga ALLAAH Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi- meridhoi beliau :
Telah menceritakan pada kami Yahya bin Yahya At-Taymi dan Qathan bin Nusair dan ini adalah lafzh Yahya, telah mengkabarkan padaku Ja’far bin Sulaiman dari Sa’id bin Iyas Al-Jurairi dari Abu Utsman An-Nahdi dari Hanzhalah Al-Usayyidi berkata (dan ia adalah salah seorang sekertaris Nabi Muhammad, semoga shalawat ALLAAH dan salam senantiasa tercurah pada beliau) : Aku bertemu Abubakar dan ia berkata : ‘Bagaimana kabarmu wahai Hanzhalah?’ Lalu kujawab : ‘Hanzhalah telah menjadi Munafiq.’
Kata Abubakar : ‘Maha Suci ALLAH, apa yang kau katakan itu?’ Jawabku : ‘Jika aku sedang berada disisi RasuluLLAAH -semoga shalawat ALLAAH dan Salam senantiasa tercurah pada beliau- dan beliau mengingatkan kami tentang neraka dan syurga sampai seolah-olah keduanya ada di depan mataku. Tetapi saat aku keluar dari sisi beliau -semoga shalawat ALLAAH dan Salam senantiasa tercurah pada beliau- maka aku bercengkrama dengan istriku dan anak-anakku dan tertawa serta aku melupakan banyak hal.’
Maka berkata Abubakar : ‘Demi ALLAH, sungguh kami juga merasakan hal yang sama.’ Maka aku berangkat bersama Abubakar hingga masuk bertemu RasuluLLAAH -semoga shalawat ALLAAH dan salam senantiasa tercurah pada beliau- lalu aku berkata : ‘Telah munafiq Hanzhalah wahai RasuluLLAAH.’ Maka bersabda RasuluLLAAH -semoga shalawat ALLAAH dan salam senantiasa tercurah pada beliau- : ‘Coba ceritakan.’
Maka aku berkata : ‘Jika aku sedang berada disisi engkau dan engkau mengingatkan kami tentang neraka dan syurga sampai seolah-olah keduanya ada di depan mataku. Tetapi saat aku keluar dari sisi engkau maka aku bercengkrama dengan istriku dan anak-anakku dan tertawa serta aku melupakan banyak hal.’
Maka bersabda RasuluLLAAH -semoga shalawat ALLAAH dan salam senantiasa tercurah pada beliau–: ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-NYA, seandainya engkau bisa kontinyu dengan keadaanmu (saat disisiku) dan saat mengingat ALLAAH, maka niscaya para malaikat itu akan menjabat tanganmu sampai di ranjang-ranjangmu dan di jalan-jalan yang kau lewati, tetapi wahai Hanzhalah ada waktu untuk ini (dzikir) dan ada waktu untuk itu (bercengkrama)! (Beliau mengatakan 3 kali).[5]’
Dalil-dalil As-Sirah An-Nabawiyyah tentang kekurangan-kekurangan manusiawi
Pertama, peristiwa tiga orang yang tidak ikut Perang Tabuk.
Perang ini terjadi pada bulan Rajab tahun ke Sembilan Hijriyah. Adalah perang terberat yang dialami kaum muslimin, disamping karena jauhnya jarak juga karena banyaknya musuh yang akan dihadapi, sehingga Nabi Muhammad -semoga shalawat ALLAH serta salam senantiasa tercurah pada diri beliau- menyampaikan tujuan yang akan dicapai agar kaum muslimin menyiapkan diri dan bekal sebaik-baiknya[ 6].
Para shahabat yang mu’min -semoga ALLAH Yang maha Mulia lagi Maha Tinggi meridhoi mereka semua- segera bergegas mempersiapkan diri, sebutlah salah seorang diantara mereka Abu Khaitsamah Al-Anshari berkata : “Aku agak tertinggal dari Nabi -semoga shalawat ALLAH serta salam senantiasa tercurah pada diri beliau-, saat memasuki kebunku kulihat makanan yang serba lezat dan minuman yang dingin, sejenak aku pandangi istriku, lalu aku berkata dalam hati: Ini tidak adil! RasuluLLAAH -semoga shalawat ALLAH serta salam senantiasa tercurah pada diri beliau- disengat terik matahari dan diterpa angin samum (angin panas padang pasir), sementara aku enak-enakan menghirup udara sejuk disini! Maka aku segera bangkit dan menyusul beliau[7].”
Tapi ada 3 orang sahabat pilihan -semoga ALLAH Yg maha Mulia lagi Maha Tinggi meridhoi mereka semua- yang absen dalam perang Tabuk yang terjadi pada tahun ke-9 H, kira-kira 6 bulan setelah pengepungan kota Tha’if[8], mereka adalah Ka’ab bin Malik, Murarah Ibnu Rabi’ Al-’Umari dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifi, dan ketiga orang ini memiliki reputasi yang amat baik, Murarah dan Hilal adalah veteran perang Badar, sementara Ka’ab juga tidak pernah absen dalam peperangan sebelumnya, namun demikianlah saat kelemahan insaniyyah mereka muncul maka merekapun terkena cobaan tersebut, kisah mereka selengkapnya dijelaskan dalam Al-Qur’an (QS Bara’ah, 9/118).
Kedua, peristiwa Hathib bin Abi Baltha’ah, semoga ALLAH Yang maha Mulia lagi Maha Tinggi meridhoinya.
Saat akan menaklukkan kota Makkah (Fathul Makkah) pada 8 Hijriyah juga terjadi peristiwa yang ganjil, seorang sahabat dari generasi pertama Islam dan mujahid dakwah tiba-tiba dengan sengaja mengirim surat pada Quraisy membocorkan tentang rencana kedatangan pasukan Islam, sehingga Umar -semoga ALLAH Yang maha Mulia lagi Maha Tinggi meridhoinya- berkata : ‘Wahai RasuluLLAAH, izinkan aku memenggal tengkuk orang ini!’ Namun jawab Nabi -semoga shalawat ALLAH serta salam senantiasa tercurah pada diri beliau- : ‘Ia telah mengikuti perang Badr, barangkali ALLAAH meninggikan orang yang ikut perang Badr dan berkata : Berbuatlah sekehendak kalian, karena sesungguhnya AKU telah mengampuni kalian.’ Berkenaan dengan peristiwa ini turun QS Al-Mumtahanah, 60/1.[9]
Ketiga, peristiwa Abu Lubabah Ibnul Mundzir, semoga ALLAH Yg maha Mulia lagi Maha Tinggi meridhoinya.
Pasca pengkhianatan Yahudi Bani Quraizhah dlm perang Ahzab pada tahun ke 5 Hijrah[10], yang diprovokasi oleh Huyayy bin Al-Akhthab An-Nadhri [11] , maka Nabi -semoga shalawat ALLAH serta salam senantiasa tercurah pada diri beliau- memerintahkan memerangi Bani Quraizhah dan agar kaum muslimin: Tidak melakukan shalat kecuali di perkampungan Bani Quraizhah [12] . Saat itu ada seorang sahabat yaitu Abu Lubabah yang punya hubungan dekat dengan mereka yang mengisyaratkan tangannya ke lehernya (isyarat akan dibunuh), sehingga tahulah kaum Yahudi itu apa yang akan menanti mereka, sehingga Abu Lubabah menyesal dan mengikat dirinya pada sebuah tiang dan bersumpah tidak akan membukanya kecuali jika dibuka oleh RasuluLLAAH -semoga shalawat ALLAH serta salam senantiasa tercurah pada diri beliau- dan ALLAAH mengampuni dosanya[13].
Khatimah
Demikianlah kemanusiaan sang manusia, seringkali dalam berbagai kondisi hal tersebut muncul, maka jika demikian hendaklah kita berhusnuzhan pada diri kita sendiri sambil berkata (sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an): “Nah, tuh sifat manusianya lagi muncul/dominan. ” Sambil terus kita perbaiki dan nasihati.
Jika sama sekali tidak ada perubahan walaupun telah dilakukan semua cara, maka hendaklah kita berhusnuzhan lagi (sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas) : “Mungkin karena ma’adin (bahan dasarnya) emang segitu.” Atau : “Dia memang bukan kualitas rahilah.” Sambil beristighfar kepada ALLAAH untuknya dan untuk kita sendiri, semoga ALLAAH Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi membebaskan dirinya dan kita dari perbuatan tersebut.
Dalam kesempatan lainnya, masih berkaitan dengan masalah ini, tapi dalam konteks yang lebih keras lagi, yaitu saat saya ditanya seorang al-akh al-muslim sebagai berikut ;
Al-Akh : “Ustadz, mengapa ada sebuah kelompok yang mengaku partai Islam tapi berani mengusung seorang ahli bid’ah atau seorang tokoh yang fajir untuk dicalonkan sebagai pemimpin di suatu daerah, apakah itu dibenarkan dalam syar’i?”
Ana : “Na’am, jika memang orang yang ahli sunnah dan shalih belum diterima (tidak bisa menang) di daerah tersebut.”
Al-Akh : “Coba antum sebutkan dalilnya, tapi mesti dari generasi awal, bukan dari generasi ahli bid’ah!”
Ana : “Pertanyaan antum itu sendiri salah ya akhi, tahukah antum bahwa kaum munafiqin dan para ahli bid’ah itu sudah ada dimasa generasi awal, bahkan dimasa Nabi?”
Al-Akh : “Kalau munafiqin benar disebutkan dalam Al-Qur’an, tapi ahli bid’ah ana yakin tidak ada di masa generasi awal!”
Ana : “Apakah menurut antum Musailamah Al-Kadzdzab itu bukan ahli bid’ah?”
Al-Akh : “Antum benar, tapi afwan dia dan para ahli bid’ah tersebut tidak pernah diajak berkoalisi oleh Nabi maupun oleh para shahabat, sedangkan konteks pertanyaan ana tadi adalah partai Islam berani mengajak mereka untuk berkoalisi.”
Ana : “Menurut antum, kaum khawarij itu ahli bid’ah bukan?”
Al-Akh : “Benar, sebagaimana telah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fatawa.”
Ana : “Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib -semoga ALLAAH Yang Maha Mulia lagi maha Tinggi meridhoi beliau- tidak melakukan hajr pada mereka itu, bahkan berkoalisi dengan mereka, sehingga mereka juga ikut dalam pasukan beliau dan bahkan beliau mengangkat sebagian mereka sebagai amir dalam pasukan tersebut, diantaranya Al-Asy’ats bin Qays Al-Kindi, Al-Asytar An-Nakha’i yang memimpin pasukan berkuda dari Kufah[14] dan Mis’ar bin Fadak At-Tamimi untuk memimpin pasukan berkuda dari Bashrah[15], karena pada saat itu belum memungkinkan memutuskan koalisi dengan mereka.[16]“
Al-Akh : “Ustaz benar, ana ruju’ ilal haqq..”
Ana : “Fa liLLAAHil hamdu wal minah.”
WaLLAAHu a’lamu bish Shawaab..
———— ——— ——— ——— ——— ——— -
[1] HR Bukhari, XI/314 no. 3234
[2] HR Muslim, XII/89 no. 4774
[3] HR Bukhari, XX/151 no. 6017
[4] Muslim, XII/385 no. 4620
[5] HR Muslim, XIII/303 no. 4937; XIII/304 no. 4938
[6] Lih. Fathul Bari’, Ibnu Hajar, VIII/113.
[7] HR At-Thabrani (Al-Fath, VIII/119), lih. Juga Sirah Ibnu Hisyam, IV/163-164; Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah, V/7-8, Imam Muslim juga meriwayatkan dalam Shahih-nya, VIII/107; juga Imam Ahmad dalam Al-Musnad, VI/387-388.
[8] Lih. Fathul Bari’, Ibnu Hajar, VIII/84.
[9] Shahih Bukhari, IV/72 dan IX/23; Shahih Muslim, II/170.
[10] At-Thabaqat Ibnu Sa’d, III/74; As-Sirah Ibnu Hisyam, III/715; Uyun Al-Atsar, III/68.
[11] Al-Maghazi Al-Waqidi, III/454-459; Tarikh Ar-Rusul wal Muluk, At-Thabari, III/570-573; Al-Bidayah Ibnu Katsir, IV/103-104; semuanya tanpa isnad disandarkan ke Ibnu Ishaq & Musa bin ‘Uqbah, namun perintah memerangi Bani Quraizhah ini disebutkan dalam Al-Qur’an (lih, Shahih Bukhari, III/24, Musnad Ahmad, VI/56,131,280) .
[12] Menurut Al-Bukhari shalat Ashar (As-Shahih, Bukhari, III/34), sementara menurut Imam Muslim shalat Zhuhur (As-Shahih, Muslim, VI/163), untuk mengkompromikan kedua hadits ini serta penjelasan kemungkinan-kemungkinannya lihat. dalam. Fathul Bari’ Ibnu Hajar (VII/408-409) .
[13] Al-Fathu Rabbani li Tartib Musnad Ahmad, XXI/81-83 dengan sanad yang hasan.
[14] Yang di kemudian hari ia diperangi oleh Ali pada peperangan Nahrawan pada tahun ke 38 Hijrah.
[15] At-Tarikh, At-Thabari, V/11.
[16]Dan merekapun berperang dengan keteguhan dan tidak kenal menyerah sebagaimana sayap pasukan yang dipimpin oleh AbdiLLAAH Ibnu Budail Al-Khaza’i dengan 200 sampai 300 orang pasukan Khawarij (Ibid, V/18) dan mereka bertempur sampai malam hari (Ibid, V/43).
*al-intima'