Langit mendung menggelayut di atas atap rumah kecil milik keluarga
Ratih. Kala itu bendera kuning di ujung jalan tertulis nama Ibrahim,
suami Ratih. Jelas ada raut duka yang Ratih samarkan dengan senyuman.
Sosoknya tetap kuat berdiri sambil menggendong si kecil dan menerima
salam duka cita dari sanak keluarga, sahabat dan para tetangga yang
berdatangan.
Ratih adalah sahabat SMA ku yang sudah tak jumpa beberapa tahun lamanya. Ketabahan dan keikhlasannya masih seperti dulu, jilbab panjang dan kaus kaki menandakan keistiqomahannya. Rutinitasnya selama ini tidak jauh seputar dakwah, sebagai guru TK disebuah TK kecil sederhana dan menjadi guru ngaji yang rutin digelutinya setiap hari.
Kini, tidak ada lagi suami di sisi, tempat berbagi tugas mengasuh lima anak mereka yang masih kecil. Rumah kontrakan petak itu tetap ditempatinya bersama lima buah hati. Tidak ada harta warisan sepeninggal suami, hanya kenangan kebersamaan di setiap sudut ruang yang lusuh. Alunan suara merdu sang suami mengaji seolah bergema melalui pori-pori dinding bercat pudar. Tubuh ringkih sang suami masih melekat erat di benak Ratih. Tubuh menahan rasa sakit yang sangat dan jarang dihiraukan, hingga tibalah waktunya sepulang shalat jumat, tubuh itu tersungkur dan mata yang terpejam untuk selamanya.
Ooh…Ratih, begitu awamkah dirimu tentang penyakit TBC yang merenggut nyawa suamimu, atau kondisi keuangan yang nyaris selalu kurang membuat engkau paranoid untuk mendatangi pelayanan kesehatan?! Tidak adakah informasi yang cukup untuk sampai ke telingamu serta cara pengobatannya?! Kadang aku gemas dengan kepasrahanmu, kuman TBC itu harus diberantas dengan pengobatan rutin yang panjang dan tak akan hilang dengan obat tradisional atau herbal seadanya. Tidak tahukah kau, pohon besar nan rindang di depan rumah kontrakan itu menghalangi cahaya matahari masuk untuk mematikan kuman itu, dan bagaimana dengan dirimu dan anak-anakmu, tertular penyakit itukah?
Syukurlah, atas uluran tangan beberapa sahabat, pemeriksaan screening TBC dapat dilakukan. Ratih sehat dan hanya ada satu anak tertular TBC. Hal itu menyadarkannya untuk update informasi kesehatan, dan membuka mata tentang perkembangan dunia kesehatan. Perjuangan Ratih pun dimulai untuk memberikan obat setiap hari untuk anaknya, karena itu tidak mudah, butuh bujuk rayu dan segala cara agar obat pahit itu dapat tertelan demi kesembuhan anaknya.
Ah, kesabaran Ratih sudah tidak diragukan. Aku sangat yakin atas segala perjuangannya, seperti keyakinan kuat Ratih menghadapi masa depan bersama kelima buah hati. Walau sulit untuk diukur dengan akal nalar, bagaimana pundi-pundi dapat terkumpul untuk menghidupi enam kepala. Apalagi kenaikan BBM disertai kenaikan kebutuhan pokok dan transportasi kali ini, tentu mempengaruhi daya beli bagi keluarga seperti Ratih.
Hari berganti, Ratih membuktikan diri mampu berperan sebagai kepala rumah tangga tanpa meminta belas kasih sedikitpun pada setiap orang. Ratih tak larut kesedihan, pikiran positif terhadap masa depan menjadi modal utama untuk melangkah dan membantunya agar tetap tegar. Hal tersebut tidak mudah bagi seorang perempuan yang cenderung ketakutan akan kesendirian. Segala upaya dan usaha dibangun dan dikerjakan dengan kesungguhan, kerja – kerja dakwah tetap dijalankan dan tak berkurang porsinya. Semangat itu berkobar bukan semata desakan sebagai tulang punggung keluarga atau status barunya, melainkan kesadaran diri Ratih untuk menerapkan ayat alquran dalam surat Al-Ra’ad: 11 ini : “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
Senyum Ratih selalu mengembang tatkala para sahabat sesekali datang menjenguk kadang merasa prihatin menyaksikan kehidupannya, ucapan “La tahzan inallaha ma’ana” pun sering didengungkan oleh ummahat satu ini dan menganggap bahwa kesulitan yang tampak kasat mata itu belum sebanding dengan kesulitan ummahat lainnya di belahan dunia manapun.
Ratih adalah sahabat SMA ku yang sudah tak jumpa beberapa tahun lamanya. Ketabahan dan keikhlasannya masih seperti dulu, jilbab panjang dan kaus kaki menandakan keistiqomahannya. Rutinitasnya selama ini tidak jauh seputar dakwah, sebagai guru TK disebuah TK kecil sederhana dan menjadi guru ngaji yang rutin digelutinya setiap hari.
Kini, tidak ada lagi suami di sisi, tempat berbagi tugas mengasuh lima anak mereka yang masih kecil. Rumah kontrakan petak itu tetap ditempatinya bersama lima buah hati. Tidak ada harta warisan sepeninggal suami, hanya kenangan kebersamaan di setiap sudut ruang yang lusuh. Alunan suara merdu sang suami mengaji seolah bergema melalui pori-pori dinding bercat pudar. Tubuh ringkih sang suami masih melekat erat di benak Ratih. Tubuh menahan rasa sakit yang sangat dan jarang dihiraukan, hingga tibalah waktunya sepulang shalat jumat, tubuh itu tersungkur dan mata yang terpejam untuk selamanya.
Ooh…Ratih, begitu awamkah dirimu tentang penyakit TBC yang merenggut nyawa suamimu, atau kondisi keuangan yang nyaris selalu kurang membuat engkau paranoid untuk mendatangi pelayanan kesehatan?! Tidak adakah informasi yang cukup untuk sampai ke telingamu serta cara pengobatannya?! Kadang aku gemas dengan kepasrahanmu, kuman TBC itu harus diberantas dengan pengobatan rutin yang panjang dan tak akan hilang dengan obat tradisional atau herbal seadanya. Tidak tahukah kau, pohon besar nan rindang di depan rumah kontrakan itu menghalangi cahaya matahari masuk untuk mematikan kuman itu, dan bagaimana dengan dirimu dan anak-anakmu, tertular penyakit itukah?
Syukurlah, atas uluran tangan beberapa sahabat, pemeriksaan screening TBC dapat dilakukan. Ratih sehat dan hanya ada satu anak tertular TBC. Hal itu menyadarkannya untuk update informasi kesehatan, dan membuka mata tentang perkembangan dunia kesehatan. Perjuangan Ratih pun dimulai untuk memberikan obat setiap hari untuk anaknya, karena itu tidak mudah, butuh bujuk rayu dan segala cara agar obat pahit itu dapat tertelan demi kesembuhan anaknya.
Ah, kesabaran Ratih sudah tidak diragukan. Aku sangat yakin atas segala perjuangannya, seperti keyakinan kuat Ratih menghadapi masa depan bersama kelima buah hati. Walau sulit untuk diukur dengan akal nalar, bagaimana pundi-pundi dapat terkumpul untuk menghidupi enam kepala. Apalagi kenaikan BBM disertai kenaikan kebutuhan pokok dan transportasi kali ini, tentu mempengaruhi daya beli bagi keluarga seperti Ratih.
Hari berganti, Ratih membuktikan diri mampu berperan sebagai kepala rumah tangga tanpa meminta belas kasih sedikitpun pada setiap orang. Ratih tak larut kesedihan, pikiran positif terhadap masa depan menjadi modal utama untuk melangkah dan membantunya agar tetap tegar. Hal tersebut tidak mudah bagi seorang perempuan yang cenderung ketakutan akan kesendirian. Segala upaya dan usaha dibangun dan dikerjakan dengan kesungguhan, kerja – kerja dakwah tetap dijalankan dan tak berkurang porsinya. Semangat itu berkobar bukan semata desakan sebagai tulang punggung keluarga atau status barunya, melainkan kesadaran diri Ratih untuk menerapkan ayat alquran dalam surat Al-Ra’ad: 11 ini : “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
Senyum Ratih selalu mengembang tatkala para sahabat sesekali datang menjenguk kadang merasa prihatin menyaksikan kehidupannya, ucapan “La tahzan inallaha ma’ana” pun sering didengungkan oleh ummahat satu ini dan menganggap bahwa kesulitan yang tampak kasat mata itu belum sebanding dengan kesulitan ummahat lainnya di belahan dunia manapun.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/
0 comments:
Post a Comment