Ramadhan telah pergi…
Mungkin dia akan kembali, tapi entah kita masih bisa bertemu lagi atau tidak.
Sebagian dari kita mungkin puas dengan capaian ibadahnya selama Ramadhan kemarin.
Sebagian lagi, mungkin harus menahan kecewa, karena di Ramadhan kemarin
tak terlalu kencang ibadahnya. Sebab tugas kantor masih berjibun, masih
pontang-panting dengan dagangan, atau malah karena terbaring sakit
hingga tak maksimal Ramadhannya.
Sebagian lagi mungkin tak masuk hitungan. Karena bagi mereka, Ramadhan
hanya sekadar bulan puasa. Itu thok, tak lebih. Mereka puasa menahan
lapar dahaga, tapi enggan kerjakan ibadah-ibadah di dalamnya. Boro-boro
dengan membaca Al Qur’an. Bisa lengkap shalat 5 waktu pun sudah syukur.
Ramadhan kemarin, boleh pergi meninggalkan kita.
Tapi adakah ia meninggalkan jejak?
Adakah Ramadhan meninggalkan bekasnya, seperti para salafush shalih yang “ruh” Ramadhan-nya, bertahan sampai 6 bulan kemudian?
Ataukah Ramadhan berlalu begitu saja, tanpa ada bekasnya sama sekali?
Agaknya, kita perlu mampu mendeteksi, adakah kita memang sukses di Ramadhan kemarin?
Atau kita saja yang ke-GR-an menganggap sukses, padahal nggak tuh.
Nah, izinkan saya mengajak kita mendeteksi sejak dini, adakah diri kita telah benar-benar berhasil di Ramadhan kemarin ?
“Saya sih Alhamdulillah sudah berhasil. Ramadhan kemarin saya khatam
Qur’an 4 kali, shalat tarawih nggak pernah lewat. Tahajud komplit.
Pokoknya perfecto dah !” mungkin ada yang berpikir begitu. Tak salah.
Silakan saja.
Tapi bagi saya, indikator keberhasilan Ramadhan kita, tak dinilai selama sebulan Ramadhan kemarin.
Akhir Ramadhan, justru adalah awal dari penilaian.
Ya. Bagi saya, indikator keberhasilan Ramadhan kita justru dinilai dari
setelah Ramadhan pergi. Persis para salafush shalih. Mereka melewati
Ramadhan dengan kemenangan gemilang, karena bagi mereka, Ramadhan
meninggalkan bekasnya hingga 6 bulan setelahnya. Jadi, mendeteksi
keberhasilan Ramadhan, cukup dengan pertanyaan “apa yang terjadi setelah
Ramadhan pergi?”
Ada 2 poin penting yang menurut saya bisa menjadi “alat ukur” yang cukup canggih.
1. Self Mastery
Saya memaknai Ramadhan sebagai bulan pengendalian diri. Dalam dunia
pengembangan diri yang saya geluti, tema “self mastery” adalah tema
paling menarik untuk dibahas. Karena tak pernah ada habisnya bahan
pembicaraan tentangnya.
Setiap saya mengadakan kelas Mind Technology Mastery, yang paling
mendapat penekanan adalah bagaimana seseorang mampu menguasai dirinya
sepenuhnya. Jika ada sesuatu yang salah dengan dirinya, maka seharusnya
ia mampu dengan mudah mendeteksi kesalahan itu, dan dengan segera
membereskan kesalahannya sehingga tak perlu berlarut-larut.
“Ah, apa susahnya menguasai dan mengendalikan diri? “
Oke, benarkah mudah menguasai diri?
Coba kita periksa dari yang paling sederhana…
Selama Ramadhan kemarin, selama beraktifitas di social media, adakah
kita berhasil menahan diri untuk tidak menyebarkan INFORMASI NEGATIF
yang belum jelas kebenarannya ? Atau menyebarkan informasi yang tak
jelas keshahihan sumbernya?
Nah, jika kita pernah membaca sebuah informasi, lalu menyebarkan
informasi itu lewat akun FB, Twitter,BBM atau lainnya, tanpa kita
telusuri kebenaran & sumbernya, maka bisa dipastikan saat itu kita
melakukannya dengan EMOSIONAL. Nah, bila kita sendiri tak punya data
dari sumber yang sangat bisa dipercaya, bukankah besar sekali potensinya
menjadi fitnah?
Jadi, bolehlah kita sebut, bahwa orang yang paling baik penguasaan &
pengendalian dirinya, adalah orang yang paling mampu menahan diri untuk
tak sembarangan menyebar informasi yang belum jelas validitas datanya
atau tak jelas sumbernya. Yang paling baik penguasaan dirinya, adalah
mereka yang tak sembarangan memberi label tertentu pada seseorang, hanya
dari satu sumber itupun baru sekali saja membacanya. Mereka yang paling
baik kemampuan penguasaan & pengendalian dirinya, akan selalu
melakukan identifikasi & analisis informasi, pembandingan data yang
sangat serius sebelum memutuskan membagikannya pada orang lain.
Ini contoh yang paling sederhana dan kita temui setiap hari di social media, kan?
Lalu berhasilkah Ramadhan kita? Mari periksa.. setelah Ramadhan pergi,
apakah kemampuan kita menguasai & mengendalikan diri jadi lebih
baik?
2. Personal Habits
Ramadhan itu bagi saya semacam training center. Semacam pusat pelatihan
yang melatih “kompetensi-kompetensi” tertentu. Kompetensi itu, kita
sebut saja ibadah-ibadah (ritual & non ritual). Yang ritual : Puasa
& shalat. Non ritual : membaca (tilawah) Al Qur’an, membantu orang,
sedekah, dll.
Selama sebulan, sebenarnya kita dituntut untuk menggeber gas
ibadah-ibadah itu dengan kecepatan penuh. Meningkatkan kualitas &
kuantitasnya. Yang tadinya sering bolong shalat 5 waktu jadi lengkap.
Yang tadinya terbata-bata membaca Al Qur’an jadi semakin lancar. Yang
tadinya malas mandi, jadi rajin. Dan seterusnya.
Semua ibadah itu, terus diulang dalam jumlah banyak, selama sebulan
penuh. Waktu yang sangat cukup untuk menjadikannya sebuah kebiasaan.
Nah, ini poin pentingnya. Semua pengulangan aktifitas ibadah itu memang
dimaksudkan agar menjadi kebiasan yang sangat sulit untuk ditinggalkan.
Dalam mind technology, aktifitas yang terus diulang dalam jumlah banyak
& waktu yang panjang, akan menciptakan jalur syaraf yang sangat
solid di otak manusia. Sehingga, aktifitas itu menjadi sebuah gerak
otomatisasi.
Persis orang merokok. Saya termasuk orang yang percaya, bahwa yang
membuat orang kecanduan rokok, bukanlah zat adiktif yang ada di dalam
rokok. Yang membuat kecanduan, adalah pengulangan-pengulangan dalam
jumlah & waktu yang sangat amat banyak itu. Sehingga, merokok
menjadi gerak otomatisasi. Ketika suatu gerak tubuh sudah menjadi
otomatisasi, akan sangat sulit untuk menghentikan gerakan itu.
Lalu berhasilkah Ramadhan kita? Mari periksa… setelah Ramadhan pergi,
apakah ibadah-ibadah yang kita lakukan selama Ramadhan kemarin, terus
berlanjut di 11 bulan setelah Ramadhan?
Nah, selamat mendeteksi…
Dan… Happy Ied Mubarak 1435H
Taqabalallahu minnaa wa minkum..
Salam Jernih
@JendralGagah
*http://jendralgagah.com/mendeteksi-keberhasilan-ramadhan-kita/
via pkspiyungan