Monday, 17 November 2014
Dollar Benar-benar Menjajah Dunia
Oleh Canny Watae*
“Itu harga hari ini, Pak, sesuai kurs Dollar hari ini”.
SMS dari entah penjaga atau pemilik toko yang kukunjungi kemarin dalam rangka memburu satu item barang teknologi informasi. Dollar. Dollar benar-benar menjajah dunia.
Awalnya, di dekade 70-an, saat Saudi Arabia takluk pada permintaan Amerika Serikat agar transaksi jual-beli minyak bumi dijangkarkan ke Dollar (baca: pake mata uang Dollar yang diterbitkan Amerika). Saudi, yang sebenarnya punya kesempatan berharga untuk menjayakan mata uang Riyal terbitannya, melepaskan begitu saja peluang emas itu. Jika saja Saudi bertahan jual-beli minyaknya menggunakan Riyal, maka Riyal akan perkasa dan diburu di seluruh dunia. Otomatis semakin menaikkan daya beli-nya. Apa mau dikata. Dollar-lah yang akhirnya secara tak resmi menjadi mata uang dunia.
Sebelumnya, Dollar sudah menancapkan kuku sebagai alat tukar “standar” di berbagai belahan dunia sebagai dampak Perang Dunia II. Rekonstruksi Eropa pasca perang tidak lain dan tidak bukan menggunakan alat gerak ekonomi bernama Dollar Amerika. Harap mahfum: Amerika keluar sebagai pemenang perang. Lagi pula, Inggris Raya yang di atas kertas kaya raya sedang babak belur pasca bertahan habis-habisan melewati PD II. Dengan Marshall Plan, Amerika leluasa merekonstruksi Eropa, dengan rencana jangka panjang terbentuknya “United States of Europe”. Marshall adalah Panglima Angkatan Bersenjata Amerika pada masa perang. Dia arsitek kemenangan Amerika di dua medan laga sekaligus: Eropa dan Asia. Namanya diabadikan sebagai nama program pembangunan kembali Eropa itu.
Bukan hanya di Eropa, di Asia pun Amerika dapat kesempatan emas berinvestasi Dollar. Rekonstruksi Jepang juga jadi ajang pemupukan Dollar. Pembangunan ekonomi Taiwan juga jadi ajang persemaian Dollar. Amerika punya kepentingan besar memajukan perekonomian Jepang dan Taiwan karena secara geografis 2 negara ini ibarat 2 kapal induk yang berlayar di lepas pantai Tiongkok. Amerika memakmurkan Jepang dan Taiwan untuk membendung pengaruh komunisme Tiongkok, sekaligus membuat kedua negara itu sebagai “benchmark” antara kapitalisme (yang sukses) dengan komunisme (yang ibarat remaja ketika itu masih mencari “jati diri”). Di kemudian hari, Amerika”menari” dengan Tiongkok. Tiongkok diberi umpan kemakmuran. Produk-produk Tiongkok diserap pasar Amerika dengan rakusnya. Dollar dengan sendirinya mengalir masuk ke Tiongkok. Sekarang, dalam skala kapitalisme Tiongkok sedang makmur-makmurnya. Saking makmurnya, Tiongkok punya uang Dollar dalam bentuk cash lebih dari 3 Trilyun. Dan, sebentar lagi elit-elit Partai Komunias Tiongkok akan “sadar” bahwa mau tidak mau negara besar mereka hanya bisa berjalan dengan platform demokrasi.
Dollar yang perkasa itu sebenarnya sempat mati tak lama sebelum PD II berkecamuk. Sistem kapitalisme ambruk di penghujung dekade 20-an. Perekonomian kapitalis Amerika mati di dekade 30-an. Ekonomi Paman Sam mengalami Depresi Besar (Great Depression). Satu dekade tak cukup untuk mengobati depresi itu. PD II – lah yang menjadi bel penyelamat. Tiba-tiba industri Amerika mendapat pasar: Mesin-mesin perang. Produk yang otomatis laku. Semua tenaga kerja terserap ke industri perang. Pasca perang, ya itu tadi: Dollar dapat kesempatan jadi alat tukar standar di Eropa dan Asia Timur-jauh.
Tetapi, dari penjangkaran ke minyak-lah yang membuat Dollar benar-benar menjadi alat tukar standar dunia. Ekonomi dunia pasca perang berlari di atas licinnya minyak. Amerika segera memakai sepatu anti-licin dengan “mengikat” Saudi Arabia. Bagi Amerika yang mata uangnya menjadi “standar” jual beli minyak, naik turunnya harga minyak hanya tergantung pada naik-turunnya produksi minyak bumi. Bagi kita,yang mata uangnya bukan Dollar,naik turunnya harga selain tergantung pada naik turunnya produksi, tergantung pula pada nilai tukar mata uang kita dengan Dollar. Naik turunnya nilai tukar duit kita dengan Dollar adalah kisah tersendiri lagi. Apa penyebabnya, mengapa demikian, lalu dampaknya ke kiri kanan, itu satu bab tulisan tersendiri lagi.
Sampai kapan Dollar akan menjadi faktor pengaruh pada harga-harga barang di sekitar kita? Sepertinya akan sampai kiamat. Sebab, negara yang menerbitkan mata uang itu sendiri kini sedang tertimbun utang maha dashyat. Keasyikan memiliki mata uang yang perkasa selama puluhan tahun, Amerika tampaknya teledor lagi. Amerika kini punya utang 15 Trilyun Dollar(!).
Memaksa Dollar tidak lagi menjadi standar tak resmi jual-beli minyak sepertinya mustahil saat ini. Ini barang ibarat benang kusut. Satu soal di satu rusa benang tidak dapat diselesaikan pada ruas itu saja. Ruas yang lain akan ikut bergerak juga. Gunting benangnya? Ah, tak bisa, karena bumi ini tidak bisa di belah-belah.
Masih ada harapan untuk negara dengan kekayaan alam melimpah seperti Indonesia. Mari kita olah sendiri. Teknologi? Ah, teknologi itu dibuat. Jangan diimpor. Mari bikin teknologi. Amerika bisa maju (dulu) karena semua tantangan pengolahan kekayaan alamnya mereka sendiri yang buat solusi teknologinya. Kita buat yang kita bisa. Yang tidak bisa, kita buat jadi bisa, sembari memanfaatkan yang sudah bisa. Hendaklah kekayaan alam dari perut bumi, laut, dan daratan kita keluar menjadi mata uang rupiah. Jangan keluar menjadi Dollar.Kita buat yang kita bisa. Yang tidak bisa, kita buat jadi bisa, sembari memanfaatkan yang sudah bisa. Hendaklah kekayaan alam dari perut bumi, laut, dan daratan kita keluar menjadi mata uang rupiah. Jangan keluar menjadi Dollar. Kerja dua kali kita karena mesti merupiahkannya lagi. Sementara keuntungan selisih pertukarannya jadi kenikmatan negara lain.
Sori... sampai di sini dulu. Saya harus segera ke toko sebelum barang pesanan saya naik harga.
*dari fb Canny Watae/piyunganonline
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment