SELAMAT HARI PAHLAWAN, #SEMOGA TERCATAT SEBAGAI SYUHADA'

Tuesday, 13 May 2014

Mengapa PKS Hanya Dapat 6,79 % Suara?

Sejak hasil akhir rekapitulasi suara PEMILU  2014 pertama kali dikeluarkan KPU Pusat, sudah bnyak yang bertanya “Mengapa PKS hanya dapat 6,79 % suara?”
Hal pertama yang harus diklarifikasi adalah bahwa kami hanya orang awam yang tidak memiliki basis data lengkap suara keseluruhan seluruh Indonesia, juga latar belakang keilmuan yang cukup untuk memberikan analisa yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kedua, kami juga bukan orang yang berwenang dalam menentukan langkah-langkah strategis PKS ke depannya, sehingga tak mungkin bagi kami untuk memberitahukan bagaimana sikap resmi PKS berikutnya, Sikap resmi PKS akan ditentukan oleh DPP maupun Majelis Syuro PKS. 
Yang lebih penting daripada analisa, hemat kami, adalah memberikan respon yang tepat terhadap semua fenomena. Penting sekali bagi setiap Muslim untuk terus mengingatkan dirinya bahwa hidup ini Cuma aksi-reaksi. Allah SWT sebagai pemberi aksi, dan kita dituntut untuk memberikan reaksi yang tepat. Bocorannya sudah diberikan sejak dahulu kala. Rasulullah saw. pernah menjelaskan bahwa hanya ada dua hal yang menyebabkan kehidupan seorang Muslim begitu luar biasa, yaitu : sabar dan syukur. Respon yang perlu kita berikan tidak boleh keluar dari yang dua ini.
Prinsip pertama yang harus dipegang adalah berprasangka baik kepada Allah SWT. Semua kehendak-Nya pasti terlaksana, dan tak ada satu pun ciptaan-Nya yang tanpa hikmah, baik berupa material maupun fenomena. Tapi tak cukup berhenti sampai titik itu. Kita pun wajib meyakini bahwa skenario yang dipilih oleh Allah adalah yang terbaik. Perbedaan dari evaluasi yang benar dengan menyesali nasib adalah pada perilaku berandai-andai. Sebenarnya akal manusia tidak punya kemampuan untuk menyusun skenario kehidupan, karena begitu banyaknya variabel yang terlibat.
Maka, pandanglah angka 6,79 % itu dengan perasaan dekat dengan Allah. Jika hati merasa berat, maka bersabarlah. Kemudian cobalah tinjau fenomena ini dari berbagai perspektif yang akan membuat kita untuk mudah bersyukur.
Kenaikan dukungan dari 1,5% pada Pemilu 1999 menjadi 7,5% pada Pemilu 2004, naik lagi menjadi 8 % pada 2009  tidak hanya ditanggapi dengan gegap gempita, namun ada juga sisi bahayanya. Kita sudah sama-sama mengalami tahapan ketika dakwah harus dilaksanakan seperti petak umpet dengan rejim penguasa. Kita juga mengalami tahapan ketika para da'i merasa gamang diterjunkan ke kancah politik. Kemudian, kita juga pernah mencicipi euforia ketika dukungan dari masyarakat berlipat ganda dan PKS menjadi parpol yang sangat diperhitungkan. Ketika jatah kursi di DPR berlipat ganda, maka waktu pendewasaan diri bagi para kader pun disingkat hingga berkali-kali pula, harus melakukan akselerasi dan percepatan – percepatan.
Pembagian tugas adalah sebuah keniscayaan. Ada yang harus duduk di Majelis Syuro, ada yang mesti menerima amanah di Dewan Syariah, ada yang menjadi pengurus DPP, DPW, DPD, DPC, hingga ke DPRa. Di luar jabatan struktural itu, ada juga yang mesti kembali konsentrasi menjalani kaderisasi sebagai pembina (murabbi) yang sekaligus juga menjadi mutarabbi.
Target suara tiga besar dalam Pemilu 2014 juga mesti dilihat dari dua sisi. Tentu tidak ada salahnya mematok harapan setinggi langit, namun harus siap juga menghadapi kewajiban-kewajiban yang datang beserta cita-cita itu. Andaikan target 3 besar itu benar-benar berhasil ditembus, itu artinya dukungan suara untuk PKS kembali berlipat ganda. Kalau benar-benar mendapat posisi tiga besar, bagaimanakah perbandingan antara kader dan simpatisan? Seberapa siapkah mesin politik PKS untuk mengelola tanggung jawab sebesar itu?
Kalau sudah bisa menerima angka 6,79 % dengan hati lapang (baca : bersabar), tibalah gilirannya untuk bersyukur. Pandanglah angka 6,79% itu sebagai tanda cinta Allah kepada jalan dakwah ini. Segala puji bagi Allah yang tidak menuntut hamba-hamba- Nya untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya.
Kita punya waktu lima tahun lagi untuk membenahi apa-apa yang belum sempat kita benahi lima tahun ke belakang. Segala yang kendur bisa dikencangkan, yang lalai bisa dikoreksi, sementara mendewasakan diri untuk menerima tanggung jawab di tahapan dakwah berikutnya. Kita tidak perlu memaksa diri mengambil tanggung jawab 'level tiga besar' jika posisinya masih di 'level tujuh besar'.
Bersabarlah, dan bersyukurlah. Jalan masih panjang.
Diilhami dan di aransemen kembali dari tulisan Akmal Sjafril (Mahasiswa Program Pasca Sarjana, Magister Pendidikan dan Pemikiran Islam, Universitas Ibnu Khaldun Bogor)
 
*pkspancoran

0 comments:

Post a Comment