SELAMAT HARI PAHLAWAN, #SEMOGA TERCATAT SEBAGAI SYUHADA'

Tuesday, 1 April 2014

Memahami PKS Sebagai Aset Bangsa dan Jalan Politiknya Menuju Kemenangan


Oleh Ubedilah Badrun
Direktur Pusat Studi Sosial Politik Indonesia

Penulis akhir-akhir ini cukup intensif mengamati PKS ditengah-tengah rutinitas mengajar, meneliti dan menulis sejumlah artikel untuk media massa.

Penulis mengamati PKS secara lebih intensif sejak Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS di Bali 1-3 Februari 2008, kemudian Musyawarah Nasional (Munas) ke-2 di Jakarta pada 2010. Kesimpulan pada waktu itu adalah ada semacam pergeseran bersejarah dari PKS karena Mukernas dan Munas 2 telah menjawab Pekerjaan Rumah (PR) besar PKS yaitu bergeser dari partai yang ekslusif menjadi partai yang inklusif, partai yang terbuka untuk semua anak bangsa.

Tentu langkah berani elit PKS ini tidak luput dari sikap resisten dari sejumlah pengurus internal PKS   maupun simpatisannya, tetapi langkah berani ini membuat PKS makin matang sebagai kekuatan Islam yang masuk ke arena politik nasional dengan pemahaman politik kebangsaan yang lebih maju.

Ijtihad mereka rela dikritik dari dalam dan simpatisannya habis habisan. Perlahan kritik dan reisitensi internal itu makin hilang. Penulis mencermati dengan langkah itu PKS menjadi lebih Indonesia. Langkah ini patut diapresiasi oleh bangsa Indonesia, mengapa? Selain karena PKS menjadi lebih terbuka, makin nasionalis, tetapi lebih dari itu PKS sesungguhnya menjadi aset penting bangsa ini. Sebab dibalik makin nasionalisnya kader dan simpatisan PKS, sumber daya manusia partai ini sesungguhnya sangat berharga bagi masa depan Indonesia.

Temuan Pusat Studi Sosial Politik Indonesia (Puspol Indonesia) menunjukkan bahwa ada sedikitnya 500 lebih Ilmuwan yang memiliki kapasitas nasional dan internasional adalah kader dan simpatisan PKS. Kini jumlahnya terus bertambah.

Hal ini terjadi karena PKS adalah partai yang berbasis aktivis kampus yang bekerja secara serius membina aktivis kampus sejak tahun 1980an. Terpilihnya Dr.Nurmahmudi Ismail sebagai Ketua Umum Partai Keadilan (PK)-sebelum berubah menjadi PKS- pada periode pertama adalah fakta yang menunjukan kebenaran analisis diatas. Nurmahmudi adalah alumni Program S3 Doctor of Philosophy Science Food and Science Technology Texas A & M University Amerika Serikat, S2 di Universitas yang sama dan S1 dari Teknologi Pertanian IPB (Institut Pertanian Bogor). Nurmahmudi Ismail Kemudian Menjadi Menteri Kehutanan di era Presiden Gusdur (Abdurrahman Wahid) dan saat ini menjadi walikota Depok.

Sebagaimana diketahui bahwa PKS lahir dari semangat anak muda Islam kampus yang bergerak dari kesolehan pribadi menjadi kesolehan sosial dan dari kesolehan sosial menjadi kesolehan politik membentuk Partai Keadilan (PK) dan kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Langkah ini patut diapresiasi karena dalam studi gerakan Islam kontemporer di Indonesia, tidak sedikit kelompok gerakan Islam yang anti politik dan anti demokrasi di Indonesia yang mengancam masa depan demokrasi di Indonesia dan bahkan mengancam konstitusi Indonesia. Sementara gerakan PKS masuk dalam sistim melalui politik. Bergeraknya kelompok aktivis dakwah kampus membentuk Partai itu menunjukan kesepakatannya pada Demokrasi dan sistim di negeri ini.

Dalam perjalanannya partai ini telah menunjukan eksistensi dan perannya di kancah politik nasional. Perjalannan panjang Partai ini yang menunjukan grafik perolehan suara yang terus meningkat sejak ikut pemilu 1999 adalah fakta yang menarik. Pada Pemilu 1999 memperoleh suara 1,3% , pada Pemilu 2004 memperoleh 7,34 % suara, dan pada Pemilu 2009 memperoleh 7,9% suara.

Kader dan simpatisannya berharap partai ini menjadi partai besar dan menjadi salah satu pemenang pada Pemilu 2014. Tetapi kemudian pasca penangkapan Luthfi Hasan Ishaq (LHI) oleh KPK harapan itu terganggu dan hampir mengikis habis semangat kader dan simpatisannya.

Oleh sebagian pengamat peristiwa penangkapan LHI oleh KPK telah menohok jantung utama PKS dan merontokan semangat kader untuk terus berjuang di PKS. Tesis pengamat tersebut ternyata kemudian keliru ketika PKS ditengah badai itu memenangkan Pemilukada di Jawa Barat dan Sumatera Utara, serta sejumlah daerah lainnya ditingkat Kabupaten dan Kota. Ini Fenomena politik unik yang mencuri perhatian penulis menelusuri lebih dalam tentang PKS.

Dalam analisis Puspol Indonesia kemenangan PKS pada pemilukada Jawa Barat, Sumatera Utara dan seterusnya itu ada semacam kontribusi cukup besar dari  peran elit partai. Dalam perspektif teori elit dalam politik diyakini bahwa peran elit begitu penting dalam proses perubahan arah politik sebuah partai ( lihat S.P, Varma, Modern Political Theory, 1976). Apalagi di suatu komunitas politik seperti PKS yang masih terus memperbaiki kemampuan politiknya.

Dalam konteks peran elit ini, sosok Luthfi Hasan Ishaq (LHI) dan sosok Anis Matta (AM) menjadi tokoh penting dalam situasi sebelum dan sesudah penangkapan oleh KPK. Dalam pengamatan Puspol Indonesia sejak LHI menjadi Ketua Umum PKS pada 2010,  LHI memiliki  peran selain menggeser posisi partai ke posisi partai Islam moderat dan makin nasionalis ia juga mematangkan mesin politik melalui gerakan yang oleh PKS di lapisan grassroot pada waktu itu disebut gerakan kembali ke asholah tarbiyah sebagai basis gerakan mereka ketika di kampus.

Sementara Anis Matta (AM) punya peran penting dalam membangkitkan kembali semangat kader menghadapi situasi berat pasca KPK menangkap LHI. Tentu ini bukan pekerjaan mudah dan tidak semua orang bisa menghadapinya.

Jika kita memperhatikan data kerja kerja PKS dalam dua tahun terakhir penulis melihat LHI dan AM menjadi tokoh kunci nafas panjang PKS saat ini, dimana LHI punya peran dalam membangun mesin politik melalui perbaikan kaderisasi dan AM memiliki peran penting membangun kembali semangat kader dalam situasi berat.

Anis Matta (AM) berhasil melaluinya dengan sangat baik dalam beberapa bulan terakhir ini. AM juga kemudian tidak hanya mampu memompa semangat kader dan simpatisan tetapi juga mampu menggerakkan mesin politik PKS. Terbukti dengan terus beranjaknya elektabilitas PKS dari sejumlah survei terakhir dan meluapnya antusiasme kader dan simpatisan saat kampanye baru baru ini.  Penulis menunggu kejutan apa yang diberikan PKS pada 9 April 2014 nanti yang tentu menarik untuk penulis amati.

Antara Partai Ideologis, Pandangan Publik dan Kemenangan 2014

Sebagai partai politik, PKS sesungguhnya telah menjadi partai ideologis yang secara internal kuat dan militan, bahkan berdasarkan data penulis dibanding partai lain PKS adalah partai yang paling serius memikirkan kaderisasi. Uniknya ditengah penguatan kaderisasi, partai ini juga nampak bekerja keras memperbaiki paradigma kadernya secara serius menjadi makin nasionalis, islamis dan makin modern. Produk kerja kerja ini kemudian melahirkan tagline kampanye "Kobarkan Semangat Indonesia" yang diususng PKS dalam kampanye 2014 ini.

Selain PKS partai yang penulis cermati sebagai partai yang makin ideologis dan makin modern adalah PDIP yang dalam tiga tahun terakhir makin membenahi kaderisasinya secara massif meski faktor patron ketokohan menjadi kelemahan besar PDIP. Tagline PDIP juga mengangkat semangat kebangsaan dengan tagline "Indonesia Hebat!".

Bekerjanya kedua partai ini seolah memenuhi kriteria makna Partai Politik sebagaiman diungkapkan Carl J. Friedrich dalam Constitutional Government and Democracy ( 1967) yang ia sebut sebagai a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages . 

Dalam kategori kaderisasi, PKS dapat diandalkan sebagai partai modern yang progresif, namun secara sosiologis politik apakah PKS akan memperoleh kemenangan pada pemilu 2014 ini? Nampaknya PKS sedang berupaya memahami masyarakat atau pemilih dengan perspektif sosiologi politik yang lebih komprehensif.

Keberhasilan memahami masyarakat adalah kunci kemenangan. Dalam perspektif sosiologi ketika membaca masyarakat salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan metode analitik yang disebut interpretative understanding (penafsiran pemahaman) yang oleh Weber disebut sebagai verstehen yaitu melakukan penafsiran bermakna bahwa untuk memahami makna subyektif suatu tindakan sosial politik, seseorang harus dapat membayangkan dirinya berada di tempat pelaku untuk ikut menghayati pengalamanya. Semacam kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain.(lihat Max Weber, Theory of Social and Economic Organization, 1963).

Dalam pemilu 2014 ini penulis menemukan salah satu strategi PKS yang nampak mencoba melakukan agenda dengan spirit menempatkan diri dalam kerangka memahami pikiran orang lain yaitu melalui pola relasional yang intensif yang mereka sebut sebagai Gerakan Silaturahim (Gesit). Ini semacam upaya PKS  memahami konstituen secara lebih mendalam, intensif dan dialogis. 

Sementara pada sisi lain, jika kita mencermati masyarakat perkotaan yang melek media, penulis menemukan semacam adanya pandangan publik terhadap PKS yang minor seiring dengan konstruksi media (framing -red) dengan sejumlah pemberitaan negatif tentang PKS. PKS tidak memiliki media besar untuk melawan pemberitaan negatif tersebut. Namun demikian PKS diuntungkan dengan kehadiran sosial media yang berkembang pesat saat ini.

Dalam kajian marketing politik dikenal dua konsepsi penting yaitu marketing politik transaksional dan  marketing politik relasional. Marketing politik transaksional adalah pola memasarkan partai dengan transaksi dalam bentuk money politic atau pemberian material lainnya, dsb. Sementara marketing politik relasional dimaknai sebagai memasarkan partai secara intensif dialogis dengan konstituen atau masyarakat secara umum.

Nampaknya PKS dalam pemilu 2014 ini berusaha keras menggeser kecenderungan pola marketing politik yang transaksional menuju marketing politik yang relasional. Temuan lapangan Pusat Studi Sosial Politik (Puspol) Indonesia menunjukkan bahwa mesin politik PKS telah berusaha membangun pola marketing politik relasional sejak usai pemilu 2009 lalu. Akankah pada pemilu 2014 ini PKS memetik buah kerja kerja  mesin politiknya dengan pola relasional itu ditengah konstruksi media mainstream yang cenderung negatif tentang PKS?

Jika hasil pemilu 2014 nanti PKS persentasi perolehan suaranya naik diatas 7,9 % atau peringkatnya bergeser menjadi lima, empat atau tiga besar pemenang pemilu maka PKS adalah 'kitab' menarik aset bangsa Indonesia untuk dikaji lebih mendalam oleh para ilmuwan politik kontemporer.

Pekerjaan Rumah (PR) besar PKS  sekaligus kritik utama penulis pada PKS adalah belum mampunya PKS mengeser elit politiknya yang identik dengan tokoh PKS menjadi tokoh nasional yang identik menjadi milik bangsa Indonesia. Anis Matta nampaknya sedang bekerja untuk hal itu. []


*Ubedilah Badrun
Pengamat Sosial Politik UNJ & Direktur Pusat Studi Sosial Politik Indonesia (Puspol Indonesia) via pkspiyungan 

*http://www.penaaksi.com/2014/03/memahami-pks-sebagai-aset-bangsa-dan.html

0 comments:

Post a Comment