PKS BANGILAN
- Istilah kufu kerap kita temukan dalam ulasan seputar pernikahan,
terutama dalam hal pencarian calon suami atau istri. Dari segi bahasa, kata
yang berasal dari bahasa Arab ini artinya sebanding, seimbang, setara, sepadan.
Kesepadanan ini bisa mencakup banyak aspek. Namun, Ustadz Abdul Manaf, MA,
dosen Ma’haliMl An-Nu’aimy, menekankan kufu ini, dalam pengertian
agama, bermakna sebanding dalam hal agama, tidak dalam hal lainnya entah itu
kekayaan, keturunan, atau status sosial ekonomi.
Rasulullah saw sudah
meletakkan dasarnya yang kokoh, yaitu dengan dinikahkannya Bilal bin Rabah,
mantan budak, dengan seorang perempuan bangsawan, adik Abdurrahman bin Auf; dan
Zaid bin Haritsah, pemuda miskin, dengan Zainab binti Jahsy, bangsawan Quraisy.
Melalui kedua
pernikahan itu, Rasulullah mewanti-wanti umatnya untuk menghindari kebanggaan
terhadap keturunan, kekayaan, ekonomi, atau status sosial. Allah swt pun
mengatakan, inna akromakum indallahi atqakum, orang yang paling
mulia di antara kamu adalah orang yang bertakwa. Maka, jelas, semua orang sama,
tidak ada kaum yang lebih tinggi derajatnya dibanding kaum lainnya yang
membedakan hanyalah ketakwaan kepada Allah swt.
Jadi, dalam
pernikahan, tambah Abdul Manaf, yang perlu dipertimbangkan adalah kufu dalam
hal agama, termasuk di dalamnya akhlak. “Artinya, tidak boleh
menikahkan wanita yang baik-baik, yang menjaga kehormatan dan harga dirinya,
dengan lelaki yang fasik, yang tidak menjalankan agamanya’dengan baik,” kata
Abdul Manii
MELANGGENGKAN
Lantas, apa
pentingnya mempertimbangkan ke-kufu-an saat mencari pendamping hidup?
Selain tuntutan
sya’ri, ke-kufu-an dalam agama dan akhlak merupakan landasan yang akan
melanggengkan pernikahan dan menciptakan rumah tangga sakinah, mawaddah wa
rahmah.
Di samping itu, ada
dua “konsekuensi” menikahkan anak perempuan dengan lelaki shaleh, seperti
dikatakan Rasulullah, yaitu jika lelaki ini senang dengan perempuan tersebut
maka ia akan memberinya perhatian, kasih sayang, dan perlakuan yang baik.
Sebaliknya, jika lelaki ini tidak menyukainya, ia pun akan tetap memperlakukan
dengan baik perempuan atau istrinya itu.
Namun, bukan berarti
kesepadanan dalam hal lainnya disingkirkan. “Apabila agama dan akhlak
sudah benar-benar diperhatikan, tidak ada salahnya mempertimbangkan hal lain,
seperti pendidikan, latar belakang, ekonomi, dan sebagainya, selama tidak
bertentangan dengan agama,” urai alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo,
Mesir, ini.
Bukan hal mudah
mengukur kadar agama dan akhlak seseorang. Namun, Rasulullah saw memberi kita
pedoman berikut:
- Lihat siapa temannya.
- Terbiasa atau tidak dia ke masjid.
- Mendengar kesaksian tentang orang tersebut dari orang-orang shaleh.
(Sumber Majalah Ummi
Seri Bahagia/islamedia )
0 comments:
Post a Comment