Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengkritik vonis hakim
yang menyatakan (mantan) Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi
Hassan Ishaq sebagai putusan yang tidak akurat.
Ia berpendapat bahwa perbuatan pidana dalam perkara itu belum terjadi, sehingga tidak layak dijatuhkan hukuman. “Ini pelajaran pidana dasar, apakah niat saja sudah bisa dihukum? Anda menghukum tidak boleh berdasarkan asumsi. Pidana tidak boleh pakai asumsi,” ujarnya.
Pernyataan ini disampaikannya dalam seminar yang diselenggarakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Keadilan (Puslitbang Kumdil) MA di Jakarta, Kamis (22/5). Bagir sedang menjelaskan scientific sense yang harus dimiliki setiap hakim.
“Saya tidak tahu apakah Indriyanto (ahli pidana dari FHUI yang duduk di sebelahnya,-red) jadi pengacara Luthfi atau tidak. Tapi ini scientific. Saya tak ada kepentingan di kasus ini,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran ini.
Ditemui usai menjadi pembicara seminar, Bagir tak khawatir bila pendapatnya berbeda dengan putusan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) dan pengadilan tinggi yang menghukum Luthfi. “Saya kan profesor, boleh berbeda,” seluruhnya.
Lebih lanjut, Bagir mengatakan sebuah perbuatan baru bisa dinyatakan sebagai korupsi bila telah merugikan keuangan negara. “Pertanyaannya adalah, kan (orang,-red) yang menyuap Fathanah bukan negara, Fathanah sendiri bukan pegawai negara,” ujarnya.
“Jadi, tidak ada urusannya dengan negara sama sekali. Itu suap menyuap antar mereka, antar swasta dengan swasta. Kalau kita strict ke UU Korupsi, ya tidak memenuhi itu,” tambahnya.
Bagir mengaku bahwa dalam peristiwa itu memang ada lanjutannya, yakni uang itu akan diserahkan ke Luthfi. Sehingga, sebagian orang menganggap bisa sebagai gratifikasi (suap) yang diberikan ke pejabat negara untuk mendapatkan kemudahan.
“Uang itu belum sampai kepada Luthfi. Jadi, hanya asumsi kita saja. Kita percaya pada keterangan Fathanah bahwa uang itu untuk dia dan Luthfi tidak mengakui itu. Hukum tak boleh mengadili orang hanya berdasarkan keterangan satu orang tanpa bukti lain,” ujarnya.
Pria yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pers ini menuturkan seandainya pun ada niat, maka niat itu tidak bisa digunakan untuk menghukum. “Niat kita mau kawin, apa kita sudah kawin? Kan tidak. Peristiwa hukum belum terjadi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Bagir menuturkan bahwa dirinya tidak apriori bila mereka yang terlibat dalam kasus ini diadili untuk kasus korupsi, tetapi menurutnya buktinya tak cukup itu saja. Ia mengatakan harus ditemukan bukti-bukti adanya tindak pidana korupsi. “Itu harus dikerjakan, jangan karena sudah diadili, ya sudahlah (divonis saja,-red),” tambahnya.
Lalu, bagaimana penilaian akhir Bagir mengenai putusan dalam kasus ini? “Putusannya tidak akurat, menurut Ketua Dewan Pers,” selorohnya.
Sekadar mengingatkan, majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi memvonis Luthfi Hasan 16 tahun penjara. Majelis menilai Luthfi terbukti menerima uang Rp1,3 miliar dari Direktur PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman melalui Fathanah dan Elda Devianne Adiningrat. Luthfi juga terbukti menerima janji Rp40 miliar untuk pengurusan penambahan kuota impor daging sapi PT Indoguna. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan itu. (hukumonline.com)
Ia berpendapat bahwa perbuatan pidana dalam perkara itu belum terjadi, sehingga tidak layak dijatuhkan hukuman. “Ini pelajaran pidana dasar, apakah niat saja sudah bisa dihukum? Anda menghukum tidak boleh berdasarkan asumsi. Pidana tidak boleh pakai asumsi,” ujarnya.
Pernyataan ini disampaikannya dalam seminar yang diselenggarakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Keadilan (Puslitbang Kumdil) MA di Jakarta, Kamis (22/5). Bagir sedang menjelaskan scientific sense yang harus dimiliki setiap hakim.
“Saya tidak tahu apakah Indriyanto (ahli pidana dari FHUI yang duduk di sebelahnya,-red) jadi pengacara Luthfi atau tidak. Tapi ini scientific. Saya tak ada kepentingan di kasus ini,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran ini.
Ditemui usai menjadi pembicara seminar, Bagir tak khawatir bila pendapatnya berbeda dengan putusan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) dan pengadilan tinggi yang menghukum Luthfi. “Saya kan profesor, boleh berbeda,” seluruhnya.
Lebih lanjut, Bagir mengatakan sebuah perbuatan baru bisa dinyatakan sebagai korupsi bila telah merugikan keuangan negara. “Pertanyaannya adalah, kan (orang,-red) yang menyuap Fathanah bukan negara, Fathanah sendiri bukan pegawai negara,” ujarnya.
“Jadi, tidak ada urusannya dengan negara sama sekali. Itu suap menyuap antar mereka, antar swasta dengan swasta. Kalau kita strict ke UU Korupsi, ya tidak memenuhi itu,” tambahnya.
Bagir mengaku bahwa dalam peristiwa itu memang ada lanjutannya, yakni uang itu akan diserahkan ke Luthfi. Sehingga, sebagian orang menganggap bisa sebagai gratifikasi (suap) yang diberikan ke pejabat negara untuk mendapatkan kemudahan.
“Uang itu belum sampai kepada Luthfi. Jadi, hanya asumsi kita saja. Kita percaya pada keterangan Fathanah bahwa uang itu untuk dia dan Luthfi tidak mengakui itu. Hukum tak boleh mengadili orang hanya berdasarkan keterangan satu orang tanpa bukti lain,” ujarnya.
Pria yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pers ini menuturkan seandainya pun ada niat, maka niat itu tidak bisa digunakan untuk menghukum. “Niat kita mau kawin, apa kita sudah kawin? Kan tidak. Peristiwa hukum belum terjadi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Bagir menuturkan bahwa dirinya tidak apriori bila mereka yang terlibat dalam kasus ini diadili untuk kasus korupsi, tetapi menurutnya buktinya tak cukup itu saja. Ia mengatakan harus ditemukan bukti-bukti adanya tindak pidana korupsi. “Itu harus dikerjakan, jangan karena sudah diadili, ya sudahlah (divonis saja,-red),” tambahnya.
Lalu, bagaimana penilaian akhir Bagir mengenai putusan dalam kasus ini? “Putusannya tidak akurat, menurut Ketua Dewan Pers,” selorohnya.
Sekadar mengingatkan, majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi memvonis Luthfi Hasan 16 tahun penjara. Majelis menilai Luthfi terbukti menerima uang Rp1,3 miliar dari Direktur PT Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman melalui Fathanah dan Elda Devianne Adiningrat. Luthfi juga terbukti menerima janji Rp40 miliar untuk pengurusan penambahan kuota impor daging sapi PT Indoguna. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan itu. (hukumonline.com)
0 comments:
Post a Comment