SELAMAT HARI PAHLAWAN, #SEMOGA TERCATAT SEBAGAI SYUHADA'

Sunday, 30 November 2014

Belajar Agama Lewat Internet Sesat Karena Tanpa Guru?



Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Saya pernah dinasehati seorang ustadz yang cukup banyak ilmunya agar jangan belajar agama lewat internet, karena bisa sesat. Sebab ilmu agama di internet itu tidak jelas sumbernya. Menurut beliau, belajar ilmu agama itu harus dengan cara berguru secara langsung, bukan cuma dengan melakukan browsing, searching atau sekedar copy paste tulisan-tulisan di internet.

Mohon masukan dari ustadz, kira-kira apa yang dinasehatkan ustadz ini benar atau tidak ya? Kalau memang benar, terus bagaimana solusinya?

Mohon pencerahan dari ustadz, karena antum juga banyak berkecimpung di internet juga.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang dikatakan oleh ustadz tersebut memang ada benarnya, bahwa belajar ilmu agama itu harus lewat guru. Sebab kalau tanpa guru, memang bisa saja seseorang tersesat, karena salah paham atau salah mengerti.

Murid yang punya guru saja kadang-kadang masih belum paham pelajaran dengan sempurna, apalagi mereka yang belajar agama tanpa guru. Mungkin bisa keliru dan jauh melenceng dari kebenaran.

Kita punya banyak contoh dimana seorang yang tidak pernah belajar ilmu agama secara benar, dalam arti dia tidak punya guru yang secara khusus mengajarkan ilmu-ilmu keislaman sesuai dengan disiplin ilmu yang baku, lalu tiba-tiba mengangkat dirinya sebagai ulama besar. Dan konyolnya, kadang pendapatnya itu tanpa malu diproklamirkan sebagai satu-satunya kebenaran.

Lebih nampak bodohnya ketika mereka memvonis bahwa semua orang itu bodoh, sesat, dan tidak punya ilmu. Seolah-olah ilmu itu hanya terbatas apa yang menurutnya cocok dengan selera pribadinya.

Tokoh-tokoh seperti ini sayangnya cukup banyak bergentayangan di dunia nyata dan di dunia maya. Kita tidak tahu disiplin ilmu apa yang pernah dipelajarinya dengan benar. Kok, tiba-tiba ada orang mengaku-ngaku sudah jadi tokoh besar, dan mengangkat dirinya satu-satunya rujukan kebenaran. Semua orang harus divonis salah dan sesat di matanya. Naudzu billah tsumma naudzu billah.

Nah, fenomena seperti ini salah satunya memang diakibatkan dari belajar ilmu agama tanpa guru. Maksudnya, bukan sama sekali tidak ada guru, melainkan orang itu tidak belajar lewat jalan proses belajar dengan benar. Bukan lewat jenjang kuliah yang benar, atau pun boleh jadi bukan berguru kepada guru yang kualified di bidang ilmu tertentu.

Sehingga apa yang disebutnya sebagai ilmu sesungguhnya cuma was-was dan issue-issue murahan yang tiap hari dihembus-hembuskan saja. Sama sekali tidak bertumpu pada disiplin ilmu agama yang baku dan muktamad, sebagaimana diwariskan dari Rasulullah SAW dan para salafusshalih di masa lalu.

Internet Membantu Belajar Agama
Meski kita sepakat bahwa belajar agama harus dengan jalan berguru kepada ulama yang ahli di bidangnya, namun bukan berarti internet harus kita tinggalkan. Memang kita tidak memandang bahwa internet itu sebagai satu-satunya sumber ilmu agama, melainkan internet itu fungsinya hanya sebagai media saja.

Dan dalam belajar ilmu agama, selain keberadaan seorang guru yang ahli di bidangnya, tidak bisa dipungkiri bahwa kita butuh media pembelajaran. Di antaranya kita butuh kitab untuk membaca ilmu yang sudah ditulis oleh guru kita.

Dan seorang guru pun juga perlu menuliskan semua ilmunya agar tidak hilang. Oleh karena itu sang guru juga butuh pena, tinta, lembaran kertas bahkan mesin cetak untuk menyebarkan ilmunya yang berharga.

Kalau di masa lalu buku atau kitab itu berbentuk lembaran kertas yang dicetak dan dijilid, maka di masa modern ini bukunya bisa saja berbentuk buku elektronik, baik berupa website yang berisi banyak tulisan ilmu atau berformat  file komputer semacam pdf dan sejenisnya.

Dan internet itu ibarat buku, bahwa tidak semua buku itu baik. Ada buku yang baik dan ada buku yang tidak baik. Tetapi tidak ada yang memungkiri bahwa buku atau kitab adalah salah satu media yang cukup bermanfaat, dimana kita bisa mendapatkan ilmu agama yang luas. Demikian juga dengan internet, ada yang isinya baik dan ada yang isinya buruk.

Namun saya sepakat bahwa media buku atau internet saja, tentu belum cukup untuk mendapatkan ilmu secara baik, apalagi sempurna. Jadi sifatnya hanya membantu, dan bukan yang utama.

Guru Mengajar Lewat Internet
Kalau di masa lalu seorang guru agama mengajarkan ilmunya dengan cara didatangi oleh murid-muridnya, baik di madasah, pesantren atau perguruan tinggi, maka di era informasi teknologi sekarang ini, ada banyak cara yang lebih mudah, cepat dan lebih massif yang bisa dilakukan.

Katakanlah seorang ulama besar sekelas Dr. Yusuf Al-Qaradawi, kalau kita ingin belajar kepada beliau, kita perlu terbang 9 jam non-stop ke Doha Qatar, negeri dimana beliau bertempat tinggal. Atau kalau kita mau belajar kepada Syeikh Ali Jum'ah, mufti Negara Mesir, maka kita harus menghabiskan paling tidak 10-11 jam terbang ke negeri Piramid Mesir.

Disana, belum tentu beliau-beliau itu punya waktu, sebab mereka adalah orang-orang sibuk, tiap hari banyak jadwal yang padat saling tumpang tindih. Itulah yang saya alami ketika berkesempatan mampir ke Doha, jauh-jauh pergi kesana, ternyata beliau sedang kunjungan ke Eropa dan berdakwah disana.

Maka kalau beliau berceramah secara live di depan kamera televisi Al-Jazeera misalnya, bisa dipastikan orang yang bisa belajar dari ilmu beliau akan menjadi jutaan jumlahnya. Sebab tanpa harus jauh-jauh datang ke Qatar atau ke Mesir, kita bisa menyaksikan ceramah beliau lewat layar kaca. Boleh dibilang nyaris tanpa biaya.

Dan apa yang beliau ceramahkan itu oleh pihak televisi Al-Jazeera  ternyata juga diposting di internet (youtube.com), sehingga kapan saja kita bisa memutar videonya, bahkan mereka yang tidak punya antena parabola di rumahnya, bisa dengan mudah mendownload filenya dan diputar lewat komputer.

Tentu kita tidak mengatakan bahwa cara ini adalah sesat, sebab gurunya jelas-jelas orang yang berilmu. Beliau berdua, Al-Qaradawi dan Ali Jumah, masing-masing adalah mufti resmi Qatar dan Mesir. Rakyat di kedua negera itu mendengarkan fatwa-fatwa mereka.

Guru Menulis Buku dan Disebarkan Lewat Internet
Kalau di masa lalu saya butuh sebuah kitab untuk rujukan, maka saya harus terbang jauh ke Arab sana untuk membeli. Atau minimal saya titip ke teman atau kenalan yang pulang ke tanah air. Toko kitab di Jakarta bukannya tidak ada, tetapi koleksi yang mereka miliki amat terbatas.

Tetapi di masa sekarang ini, kitab-kitab tulisan para ulama, klasik atau modern, sudah banyak beredar di internet. Bisa didownload sepuasnya dengan tanpa biaya apa pun.

Seorang kenalan pernah menghadiahi saya sebuah harddisk dengan kapasitas 1 Terrabyte. Isinya ribuan kitab-kitab para ulama hasil download di internet. Membaca judulnya saja tidak selesai seminggu, apalagi membaca isinya, bisa keburu ubanan belum selesai.

Ceramah dan Buku Hanya Media
Namun demikian, tetap saja harus kita akui bahwa nonton ceramah para ulama di youtube atau membaca ribuan kitab, tidak akan menjamin kita paham ilmu agama, atau memastikan kita bisa langsung menjadi ulama seketika. Sebab kita tidak secara langsung akan ditegur kalau keliru dalam memahami. Seorang bisa saja punya interprestasi yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh gurunya.

Oleh karena itu belajar secara langsung kepada guru tetap menjadi sebuah keharusan. Sebab guru akan menegur kita manakala kita salah paham, kurang paham atau tidak paham-paham. Selain itu guru juga bisa melakukan serangkaian test atau ujian kepada kita.

Sewaktu kuliah dulu, tidak semua murid yang tiap hari masuk kuliah lantas menjadi berilmu. Mereka tiap semester harus diuji, baik secara lisan atau pun tulisan. Dan guru akan membetulkan atau mengoreksi bila terjadi kesalahan.

Syarat Belajar Agama Lewat Internet
Untuk itu agar belajar ilmu agama lewat internet menjadi aman, perlu dilengkapi syarat dan ketentuannya, antara lain :

1. Ada Guru Yang Ahli di Bidangnya
Di internet kita menemukan begitu banyak orang yang tidak jelas latar belakang keilmuannya, tetapi tiap hari rajin sekali ber cuap-cuap, baik di facebook, twitter, blog atau media lainnya. Apa yang ditulisnya mungkin baik dari sisi niatnya, yaitu semangat '45 untuk berdakwah. Seolah-olah orang kalau tidak berdakwah itu akan jadi dosa besar.

Sayangnya, semangat dakwahnya tidak sepadan dengan latar belakang keilmuannya. Ilmu-ilmu alatnya saja tidak dikuasai, seperti penguasaan bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah. Demikian seringkali ilmu-ilmu yang paling dasar yang  seharusnya menjadi menjadi pondasi dan tiang-tiap utama, kadang juga belum pernah dipelajari.

Lalu ujug-ujug kok jadi mufti dan rujukan dalam ilmu agama? Kok bisa ya?

Padahal kalau kita tanya, dulu pernah kuliah di fakultas apa? Ternyata jawabnya ajaib, kuliahnya malah di fakultas Pertanian, fakultas MIPA,, fakultas Psikologi dan lainnya. Wah wah. ...

Kalau kita tanya,"Lho, kok Anda sekarang malah menulis tentang ilmu agama? Memangnya Anda sudah pernah belajar ilmu agama dimana? Kapan? Siapa gurunya? Apa standarnya?".

Maka kalau ditanya seperti ini, yang ditanya akan gelagapan tidak bisa menjawab. Paling-paling jawabannya bahwa di sela-sela kuliahnya itu, dia aktif dimana-mana. Walah, yang namanya aktif dimana-mana itu apa benar-benar mengaji sesuai standar atau cuma tukar pikiran saja? Itu yang tidak jelas.

Jangankan yang begitu, lha wong 5000-an mahasiswa Indonesia yang kuliah di Al-Azhar Mesir sana saja, kadang tidak paham kok ilmu yang dipelajarinya. Kenapa? Karena sewaktu di Mesir dulu, lebih banyak waktunya dihabiskan untuk main bola, nonton, atau berorganisasi dan aktif di berbagai kegiatan ini itu, ketimbang duduk tekun bertalaqqi di hadapan pada ulama. So, tidak mentang-mentang jebolan Cairo, lantas otomatis jadi ulama. Saya tahu itu karena saya lahir di Cairo Mesir. Jadi ya tidak perlu ditutup-tutupi, biar saja orang pada tahu apa yang dilakukan mahasiwa kita disana. Walau pun tentu ada juga yang kuliah di Cairo dan pulang membawa ilmu yang banyak dan bermanfaat, tapi jumlahnya sedikit sekali.

Mungkin orang-orang seperti ini berpikir, asalkan sudah punya Al-Quran terjemah versi Depag, lalu punya kitab terjemahan hadits Bukhari Muslim, Bulughul Maram, lalu suka hadir-hadir sedikit di pengajian ini dan itu, maka dia sudah jadi ulama dan berhak untuk mengeluarkan fatwa sambil mengkritik para ulama dan pendapat mereka. Wah, kalau begini memang sesat sekali pemahamannya.

Saya kira julukan ru'usan juhhala (tokoh jahil) sebagai yang disebutkan oleh Rasulullah SAW di dalam hadits Shahih Muslim nampak tepat kita sematkan kepada tokoh-tokoh seperti ini. Mereka produktif membuat postingan di internet, tetapi sejatinya mereka bukan orang yang ahli di bidang ilmu syariah. Kalau pun ada tulisan, paling-paling cuma hasil copy paste atau sekedar terjemahan buta dari sumber-sumber yang juga bermasalah.

Sebenarnya dirinya tidak pernah melakukan kajian sendiri atau tidak menulis bahts sendiri, cuma nyontek temannya lalu diakui sebagai karyanya.

Maka kalau ada nasihat agar jangan belajar agama dari internet biar tidak sesat, untuk kasus seperti ini memang ada benarnya.

2. Interaktif
Biar kualitas ilmu agama yang kita pelajari lewat internet itu terjamin, maka tidak cukup seorang guru hanya memposting tulisan secara lepas. Harus ada dialog yang bersifat lebih interaktif antara guru dan muridnya. Sebab kadang ada bagian tertentu dari materi pelajaran yang masih belum secara tepat dipahami, atau mungkin ada yang kurang mendalam pembahasannya.

Maka dengan bantuan internet, diskusi interaktif antara guru dan murid bisa terjadi dengan mudah dan lancar. Diskusi ini bisa lewat tanya jawab tertulis semacam email, chat, atau lewat video konferensi dan sebagainya.

Para calon pembantu rumah tangga yang mau berangkat kerja ke Hongkong saja bisa wawancara dulu dengan calon majikan lewat Skype, masak kita tidak bisa memanfaatkan internet ini untuk media diskusi interaktif dengan para ulama?

Masalahnya, kita punya banyak ulama yang ilmunya sudah jaminan mutu. Sayangnya, tidak semua mereka yang berilmu itu melek teknologi. Oleh karena itu ganjalannya adalah bagaimana para ulama itu bisa dibantu kemampuan teknologinya.

3. Kualitas Tulisan Ilmiyah
Meski seorang guru sudah berstatus ulama atau ustadz, tidak lantas boleh bicara seenak seleranya sendiri. Setiap kali mengajar, atau menulis baik di media online atau lainnya, mereka harus merujuk kepada sumber rujukan ilmu yang muktamad.

Kalau bicara masalah hukum fiqih misalnya, tentu rujukannya harus kitab-kitab fiqih, bukan kitab hadits. Kitab hadits fungsinya untuk bicara tentang ilmu hadits.

Kalau ada tokoh bicara tentang hukum-hukum fiqih kesana kemari, tetapi dia tidak kenal kitab fiqih semacam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Bada'iusshanai, Al-Mughni, Hasyiatu Ibnu Abdin, Mukhtashar Al-Muzani, Raudhatutalibin, dan sejenisnya, maka dengan mudah kita bisa pastikan bahwa orang itu sebenarnya bukan orang yang tepat bicara tentang hukum fiqih.

Kenapa?

Karena kitab-kitab yang saya sebutkan itu adalah kitab-kitab standar dalam ilmu fiqih. Setiap kali kita bicara hukum syariah, maka sebenarnya sudah ada para ulama besar yang membuat standar hukum-hukum fiqih. Maka semua kitab itu harus jadi pegangan utama, selain kitab-kitab pendukung lainnya.

Dalam dunia fiqih, kita mengenal ada beberapa mazhab utama, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Maka apa yang jadi pendapat dari masing-masing mazhab itu dalam suatu kajian, harus dikutip dan dijadikan bahan pertimbangan utama. Tidak bisa begitu saja dilewatkan.

Masak menjawab masalah fiqih hanya bermodal fatwa satu orang saja. Ilmu fiqih itu sumbernya bukan cuma Ibnu Taimiyah seorang. Maka fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah itu bukan rujukan utama dalam ilmu fiqih. Jauh sebelum mengutip selera Ibnu Taimiyah, kita wajib mengutip dulu pendapat masterpiece dari mazhab-mazhab besar. Kalau dirasa perlu sekali, pendapat Ibnu Taimiyah boleh saja dicantumkan, sifatnya sebagai pelengkap saja.

Maka dengan melihat sumber rujukan yang digunakan, kita dengan mudah kita bisa membedakan, mana tulisan fiqih yang berkualitas ilmiyah, dan mana yang tulisan ilmu fiqih yang tidak ilmiyah alias berkualitasnya rendah.

Semudah kita bisa membedakan mana video berkualitas ACVHD atau setidaknya HD dengan kualitas VGA yang resolusinya terbilang rendah. Orang film menyebutnya video berkualitas 'under', bukan standar broadcast. Biasanya kamera yang digunakan cuma kamera amatir abal-abal.

Materi tulisan yang berbobot adalah yang memenuhi resolusi standar broadcast, dimana sumber rujukannya benar-benar memenuhi standar kualitas profesional.

Demikian tulisan singkat ini, semoga bisa menjadi sedikit pencerah.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullah wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumah
Fiqih
Indonesia

0 comments:

Post a Comment