Kader sedang membantu korban gempa Pidie Jaya (ilustrasi)
Diakhir tahun 2016 ini diperkirakan terjadi kekurangan (shortfall) dalam Penerimaan Perpajakan sebesar Rp 219 triliun, sehingga menyebabkan Pendapatan Negara berkurang sebesar Rp 203,3 triliun (karena terbantu oleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang meningkat sebesar Rp 15,6 triliun). Dengan berkurangnya Pendapatan Negara sebesar itu maka Belanja Negara yang telah direncanakan dan disahkan dalam APBN-P2016 akan dipotong lagi sebesar Rp 184,3 triliun. Karena pemotongan Belanja Negara tidak sebesar kekurangan Pendapatan Negara, maka terjadi penambahan Defisit Anggaran sebesar Rp 19 triliun, dengan demikian Defisit Anggaran yang semula 2,35% PDB dalam APBN-P2016 akan bertambah menjadi 2,5% PDB. Besarnya shortfall dalam penerimaan perpajakan juga dipengaruhi oleh sibuknya pemerintah mengejar keberhasilan program Tax Amnesty daripada keberhasilan penerimaan perpajakan, sementara masyarakat dan pengusaha juga sibuk mengurus Tax Amnesty.
Pemotongan Belanja Negara sebesar Rp 184,3 triliun tersebut, menyebabkan terjadinya pemotongan anggaran Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp 111,4 triliun, dan pemotongan anggaran Transfer Daerah dan Dana Desa sebesar Rp 73 triliun. Berbagai pemotongan anggaran baik Belanja Pemerintah Pusat maupun Transfer Daerah dan Dana Desa akan mengurangi kontribusi APBN terhadap pertumbuhan PDB, sehingga target pertumbuhan ekonomi 2016 yang direncanakan diatas 5% akan sulit tercapai. Disamping itu peningkatan Defisit Anggaran dari 2,35% menjadi 2,5% dengan nilai sebesar Rp 19 triliun, akan menyebabkan pemerintah harus berusaha medapatkan kebutuhan pembiayaan tersebut dengan cara menarik utang pada dua bulan terakhir tahun ini. Pemerintah melalui Menteri Keuangan juga sudah menyampaikan bahwa, pemerintah berencana menarik utang untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan akhir tahun ini sebesar Rp 21 triliun melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), untuk mencukupi kebutuhan fiskal dan diluar fiskal.
Menurut rencana SBN yang akan diterbitkan nanti dalam mata uang rupiah dan mata uang asing, namun sejauh ini realisasi penerbitan SBN dalam mata uang asing hanya 22% dari total SBN yang diterbitkan di Indonesia, dan mayoritasnya dalam mata uang rupiah. Akibat dari mayoritas penerbitan SBN dalam mata uang rupiah, maka akan menekan sektor keuangan, likuiditas perbankan. Meskipun sektor keuangan tentunya sangat berharap agar dana rupiah yang didapatkan pemerintah melalui penerbitan SBN bisa segera dibelanjakan sehingga menambah likuiditas perbankan kembali. Likuiditas perbankan sebenarnya sudah sangat tertekan dengan berlakunya Tax Amnesty, oleh penarikan tabungan untuk pembayaran uang tebusan Tax Amnesty yang sementara ini berjumlah sekitar Rp 94 triliun (dari target Rp 165 triliun), memang sebagian dana pembayaran tebusan berasal dari luar negeri namun mayoritas tetap berasal dari dalam negeri. Sektor keuangan juga berharap masuknya dana segar ke pasar keuangan domestik melalui dukungan dana repatriasi Tax Amnesty. Namun sampai akhir Oktober 2016, dari komitmen repatriasi yang senilai Rp 143 triliun (dari target Rp 1000 triliun), baru sekitar Rp 10 triliun – Rp 12 triliun yang sudah masuk kedalam sistem perbankan nasional , dan sebagian besarnya masih diluar negeri.
Memed Sosiawan
Ketua Bidang Ekuintek-LH DPP PKS
Sumber : pks.id
0 comments:
Post a Comment