Kampanye Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyediakan tempat penitipan anak, dolanan, dan pojok menyusu |
Oleh Detti Febrina
Ketika masih tergabung di pengurusan organisasi jurnalis, dalam sebuah diskusi saya hadir mengajak Tsaqifa putri nomor dua yang waktu itu masih belajar merangkak. Bagi saya, momen seperti ini adalah waktu silaturahim dengan para guru dan kawan jurnalis yang gacor-gacor itu. Sayang jika tak hadir.
Sejak tuntas cuti melahirkan, bayi Tsaqifa sudah digotong-gotong di gendongan ‘kanguru’ bersama motor butut yang sering jadi olok-olok teman-teman sekantor. Meliput dan wawancara narsum, tak jarang dengan Tsaqifa di gendongan. Ada opsi tempat penitipan anak yang juga dilanggani, tapi idealisme pemberian ASI eksklusif – dengan segala kerepotan ibu bekerja – menyebabkan saya putuskan Qifa sesekali diajak saja.
Obrolan di aliansi sore itu seperti biasa mendalam sekaligus penuh celetukan. Saat diskusi menyasar perlindungan bagi jurnalis perempuan, Mustaan Basran – sekarang redaktur desk politik di suratkabar harian tertua di Lampung – urun seloroh. “Memang dilematis posisi jurnalis perempuan terutama kalau sudah berkeluarga, terbukti sampai-sampai datang diskusipun harus bawa anak,” ujarnya sambil terkekeh-kekeh.
Saya ikut terkekeh. Paham siapa yang dimaksud. “Daripada datang diskusi, tapi nelantarin anak …,” smash saya ke Aan – panggilan Mustaan (pa kabar, An? :D).
***
Prolog di atas sekedar ilustrasi bahwa pilihan model pengasuhan anak di tengah aktivitas orangtuanya tidak selalu nyaman bagi anak maupun orangtua. Tidak selalu tersedia pilihan-pilihan supporting system nan jitu. Supporting system pengasuhan anak yang sophisticated dengan menyediakan babysitter profesional atau tempat penitipan anak yang paripurna, tentunya dan sayangnya hanya tergapai oleh mereka yang secara finansial berkelebihan.
Pilihan pengasuh berbayar dari kampung lebih sering jadi model try and error yang jika beruntung bisa sangat membantu, tapi jika tidak justru potensial bikin stres berkepanjangan. Atau pilihan extended family, yaitu menyertakan kakek-nenek, paman-bibi, uwak, sepupu, atau keponakan dalam pengasuhan anak secara bersama dalam keluarga besar, bisa jadi pilihan yang lebih ‘murah’ dengan segenap kelebihan pun kekurangannya.
Mungkin kali lain kita bisa membahas model pilihan pengasuhan anak ini. Namun kini kita fokus dulu ya soal itikad buruk pelibatan anak dalam kampanye politik.
Mari lebih dulu ajukan beberapa pertanyaan berikut. Pertama, apakah politik harus selalu dinisbikan dan tidak boleh menjadi bagian dalam pendidikan anak dan keluarga? Benarkah kehadiran anak dalam aktivitas politik harus selalu dimaknai penzaliman? Apakah semua kampanye parpol yang anak hadir di situ – dalam konteks apapun – bisa gebyah uyah menyebabkan parpol penyelenggara kampanye dijatuhi sanksi pidana? Untuk pertanyaan terakhir perlu saya tambahkan: adakah jaminan equality before the law – maupun equality before the news – di kasus pelibatan anak dalam kampanye parpol ini?
Bahkan bagi orang dewasa, politik sudah mafhum dipersepsi sebagai kubangan. Maka tak heran, di dalam rumahpun jadilah politik “sesuatu yang tak boleh disebut namanya”. Padahal toh anak-anak sejak TK sudah belajar jadi pemimpin, mengatur barisan sebelum masuk kelas, bergantian memimpin doa, dan lainnya. Oh, oke. Itu kan bukan aktivitas politik an sich. Tapi bisakah kita mencegah si buyung ikut gandrung Jokowi? Bagaimana menjelaskan saat si upik bertanya, ‘Anggota dewan itu apa, Mah? Kok sering disebut di tivi?’ Banner dan billboard para caleg di jalan-jalan, apa mungkin anak kita cegah melihat?
Jadi, sekalipun benci atau minimal indifferent terhadap politik, bisakah Anda wahai para orangtua berkelit dan bulat-bulat menghindarkan anak dari politik? Bukankah anak kita sebagaimana orangtuanya adalah warga negara, bahwa anak juga punya hak mendapatkan pendidikan politik sesuai usianya? Pendidikan Kewarganegaraan masih ada dalam kurikulum sekolah dasar, bethul?
Enjoy; Seorang anak peserta kampanye PKS di GBK
***Merujuk pada perundang-undangan saja, keterlibatan anak dalam kampanye parpol sebenarnya masih menyisakan ruang diskursus amat besar. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, Anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak menyebutkan secara rinci bahwa anak-anak dilarang ikut berkampanye. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak-lah yang mencantumkan klausul: setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, sengketa bersenjata , kerusuhan sosial, peristiwa berunsur kekerasan, dan perang.
Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh, dilarangnya anak terlibat dalam kampanye parpol adalah dalam rangka menghindarkan anak melihat tontonan, atraksi politik, agitasi, fitnah hingga kampanye hitam. Untuk ini kita patut bersepakat. Tapi mungkin KPAI lupa bahwa tontonan, atraksi politik, agitasi, fitnah hingga kampanye hitam bisa disantap anak-anak bukan saja di kampanye tangible ala rapat umum dan dangdutan di lapangan. Ada televisi yang rutin menyajikan berita – bukan saja politik –, tayangan infotainmen, dll yang tak jarang bahkan lebih banal menyajikan agitasi dan fitnah.
Lalu mengapa harus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang jadi contoh ‘buruk’? Sederhana. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), KPAI, dan media yang menisbatkan demikian, bersandar pada kampanye terbuka PKS hari pertama Minggu 16 Maret 2014 di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta yang diluberi massa. Mencegah satu anak hadir dalam kerumunan 150 ribu massa, amazing bila parpol atau ormas pengumpul massa manapun sukses melakukan itu. Dalam twitnya, mantan anggota Dewan Pers Uni Lubis mengomentari pelibatan anak dalam kampanye PKS di GBK: Gue sih nggak akan menyoal yang hadir kampanye bawa anak2 di hari Minggu ini. Anggap aja piknik keluarga. Kayak sekatenan.
Berdasar evaluasi kampanye dua hari pertama Ketua Bawaslu Muhammad kemudian merilis pernyataan bahwa semua parpol melakukan pelanggaran terkait pelibatan anak-anak. Bukan hanya PKS. Tanpa menyebut nama, menurutnya ada parpol yang sengaja dan merencanakan mobilisasi pelibatan anak-anak. Ada yang tidak merencanakan namun tak terhindarkan anak-anak hadir dalam kampanye. Untuk yang pertama Bawaslu merekomendasikan adanya sanksi tegas, sedangkan untuk yang kedua Bawaslu akan memberikan peringatan. Di beberapa tempat bahkan ditemukan anak-anak menyaksikan model kampanye parpol yang erotis, pornoaktif. Di sini sekali lagi jaminan equality before the law Bawaslu dan perangkat hukum diuji.
Berbeda dengan parpol lain, PKS punya kultur sendiri terkait pelibatan anak dalam aktivitas politiknya. Tempat penitipan anak sebenarnya bukan hanya tersedia saat kampanye pemilu PKS. Dalam rakor, training partai, juga taklim rutin partai yang rutin setiap pekan. Family gathering, kemah keluarga, dan sejenisnya masuk dalam agenda rutin partai. Jika sempat sila bertandang ke kantor DPD PKS Pringsewu, Lampung. Di kantor yang nyaman itu Anda akan menemukan bukan saja ruang khusus mengganti diaper bayi dan ruang ibu menyusui, tapi juga playground (tempat bermain) untuk anak-anak.
Jadi bagi PKS, meniadakan kehadiran anak dalam kampanye rapat umum terbuka sebenarnya bertentangan dengan kultur dasarnya. Taklimat dan instruksi pimpinan partai untuk tidak boleh membawa anak waktu kampanye, padahal di saat yang sama ingin mendengar Presiden partai orasi itu sukses bikin galau tingkat internasional bagi para kader dan keluarga PKS.
Jadi pastilah karena itikad buruk nekat melanggar hukum maka selalu disediakan tempat penitipan anak, badut, dolanan, dan pojok menyusui dekat lokasi kampanye PKS. Pasti karena itikad buruk ngeyel ala PKS, masih saja ada anak nyelonong minta dicium Anis Matta di tempat kampanye. Pasti kampanye PKS sudah dipersepsi ricuh dan rusuh sehingga polisi yang mau mengamankan kampanye perlu berujar, “Tenang aja. PKS ini kok yang kampanye …”
Dasar PKS! Partai Keterlaluan Solidnya. Bah! []
*@dettife on twitter
Seri Catatan Caleg Naif di http://dettifebrina.blogspot.com/
0 comments:
Post a Comment