SELAMAT HARI PAHLAWAN, #SEMOGA TERCATAT SEBAGAI SYUHADA'

Thursday 23 October 2014

Inilah Calon Menteri Jokowi yang Disinyalir Bermasalah


Tak pelak lagi, rasa ingin tahu publik tentang siapa saja yang bakal menjadi menteri kian menggelegak sejak Senin, 20 Oktober 2014 bersamaan dengan pengambilan sumpah Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7.

Keingintahuan publik tentang siapa saja yang bakal duduk sebagai menteri bisa dipahami. Buat sebagian besar rakyat bawah, bisa jadi hal ini tidak penting betul.

Tapi buat pengusaha, tentu amat berarti. Dan, bagi para aktivis yang sudah berkeringat mengantarkan Jokowi ke Istana, soal ini menjadi lebih penting lagi.

Pasalnya, sekali Jokowi salah menempatkan orang, maka bencana kembali menerjang Indonesia. Ya, para aktivis itu benar-benar cemas, jangan sampai kabinet, khususnya tim ekonomi, bakal diisi figur-figur pengabdi sekaligus pejuang neolib.

Beberapa nama yang mendapat sorotan kencang di antaranya adalah Sri Mulyani Indrawati (SMI) dan Kuntoro Mangkusubroto. Di luar mereka ada sejumlah nama lain yang juga kerap disebut sebagai agen neolib. Mereka di antaranya Darmin Nasution dan Chairul Tanjung.

Awalnya, Jokowi akan mengumumkannya pada Rabu, 22 Oktober 2014. ‘Kepastian’ pengumuman susunan kabinet itu ‘datang’ langsung dari Jokowi. Namun, seperti yang sudah diketahui, Jokowi membatalkan pengumuman tersebut.

Sumber di lingkaran dalam Jokowi mengatakan, Ani, panggilan akrab Sri Mulyani, terlempar keluar dari calon menteri.

Padahal, sesaat setelah Jokowi mengucapkan sumpahnya, Puan Maharani kepada wartawan masih memastikan, bahwa nama SMI masih ada dalam daftar calon menteri. Ani juga menjadi salah satu nama yang disodorkan Jokowi ke KPK dan PPATK untuk ditelusuri integritasnya.

Kalau sumber lingkaran dalam Jokowi itu benar, tentu saja ini menjadi kabar gembira yang amat melegakan para pejuang ekonomi konstitusi.

Maklum, penolakan Ani karena reputasinya sebagai pengabdi dan pejuang neolib termasuk yang paling kencang disuarakan.

Dari dalam juga merembes informasi berharga lain. Darmin Nasution, mantan Gubernur BI dan Dirjen Pajak itu, juga terlempar.

Sekali lagi, jika kabar ini benar, maka lagi-lagi sangat melegakan. Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI) Sasmito Hadinagoro menyebut Darmin sebagai mafia pajak berkategori big fish.

Darmin dituding terlibat dalam sejumlah kasus pajak. Bahkan Sasmito menilai kasus penggelapan pajak di era Darmin jauh lebih besar dari megaskandal Centurygate yang ‘hanya’ senilai Rp6,7 triliun.

Pajak yang digelapkan di era Darmin kira-kira setara dengan 10x nilai dana talangan yang dikucurkan pada Bank Century. Darmin pernah dilaporkan ke KPK dalam kasus-kasus itu.

Namun di tengah ketidakpastian informasi seperti sekarang, juga berhembus kabar bahwa Kuntoro bakal didapuk sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Nomenklatur kementerian ini, konon, akan diubah. Tapi, yang merisaukan, muncul nama Kuntoro sebagai kandidat kuat.

Bocoran ini benar-benar membuat cemas. Pasalnya, rekam jejak Kuntoro sejauh ini biasa-biasa saja, jauh dari cemerlang. Padahal, karirnya di pemerintahan terbilang panjang dan cukup lengkap. Dia pernah menjadi Dirjen Pertambangan Umum (1993-1997), dua kali Menteri Pertambangan, yaitu pada Kabinet Pembangunan VII (1998) dan di Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), Direktur Utama PLN (2000), serta Kepala Badan Pelaksana – Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh- Nias (2005).

Tapi, yang membuat para pejuang ekonomi kerakyatan berbasis konstitusi ini cemas adalah rekam jejak Kuntoro yang sarat dengan perannya sebagai antek kepentingan asing. Sekadar mengingatkan saja, Kuntoro adalah tokoh penting di balik UU No. 22/2001 tentang Migas yang sangat menguntungkan asing dan sangat merugikan Indonesia.

Bukan itu saja, lewat Kuntoro pula USAID masuk, bahkan mengucurkan dolar demi suksesnya pembahasan RUU yang draft-nya mereka buatkan.

Kisah pengkhianatan anak bangsa kepada bangsanya sendiri ini masih dapat ditemukan dalam arsip Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta.

Pada 29 Agustus 2008 Kedubes AS mengeluarkan pernyataan resmi mengenai keterlibatan USAID dalam apa yang disebut sebagai proses reformasi sektor energi.

Lewat dokumen itu sangat jelas peran yang dimainkan Kuntoro pada awal 1999. Saat itu, sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dia minta bantuan USAID mereview sebuah draft RUU Migas.

USAID menyambut positif undangan itu dan selanjutnya bersama pemerintah Indonesia menandatangani Strategic Objective Grant Agreement (SOGA) yang berlaku untuk lima tahun sekaligus mengucurkan bantuan US$20 juta.

Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra menyebut Kuntoro pernah terkena masalah hukum. Saat menjadi Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Kepulauan Nias, dia diketahui menarik dana APBN sebesar Rp2,21 triliun dengan cacat hukum. Dana itu dikelolanya melalui mekanisme di luar anggaran (off-budget).

Nama lain yang tiba-tiba muncul adalah Chairul Tanjung alias CT. Bos kelompok bisnis CT Corp yang menjadi Menko Perekonomian di ujung pemerintahan SBY.

Munculnya CT sebagai kandidat menteri, disinyalir merupakan hasil kompromi Jokowi-Koalisi Merah Putih (KMP).

Dugaan itu seperti menemukan kebenarannya setelah CT Selasa sore, 21 Oktober 2014 datang ke Istana Merdeka memenuhi panggilan Jokowi. Chairul disebut-sebut akan diplot jadi menteri bidang ekonomi.

Jika kabar ini benar, tentu saja sangat disayangkan. Seharusnya Jokowi tidak buru-buru memilih Chairul sebagai menteri. Menempatkan CT di kabinet justru bakal mengganggu dan membebani pemerintahan. Paling tidak, sebagai pengusaha potensi terjadinya conflict of interest sangat tinggi.

Lagi pula, satu hal yang harus dicatat, selama menjadi Menko Perekonomian di kabinet SBY- Boediono, prestasinya biasa-biasa saja. Dia sepi dari prestasi. Tidak ada kebijakan yang terobosan berarti yang ditelurkannya.

Terlepas dari itu semua, satu hal yang harus dilakukan Jokowi dalam menyusun kabinetnya. Dia harus terus menggenggam kepercayaan rakyat yang begitu besar dengan erat. Apa yang ditunjukkan rakyat sepanjang 20 Oktober 2014 kemarin, adalah bukti nyata besarnya dukungan sekaligus harapan rakyat kepadanya.

Itulah sebabnya dia harus berkoalisi dengan rakyat. Jokowi tidak boleh berkoalisi dengan elit. Caranya, pilihlah orang-orang yang tidak menjadi pelayan kepentingan asing. Menteri-menterinya harus punya kemampuan dalam memahami dan memecahkan masalah.

Jokowi memerlukan menteri-menteri yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, mereka tidak akan menjadikan jabatannya untuk mengamankan kepentingan diri dan para majikannya. (ed/fs)
*Piyungan Online

0 comments:

Post a Comment