Oleh Akmal Sjafril
“Andaikan kalian sanggup berkomitmen untuk begini dan begitu, tentu akan saya dukung. Tapi sejauh ini, saya masih melihat banyak kekurangan dari diri kalian. Sesungguhnya kita tidak mungkin membersihkan lantai yang kotor dengan kain pel yang kotor!”
Kalimat semacam di atas, dalam berbagai varian bentuknya, sering sekali terdengar. Hemat saya, terutama ungkapan yang terakhir, memang dapat menemukan konteksnya dalam banyak kasus, namun tidak untuk semua kasus. Memang benar, kain pel yang akan digunakan untuk membersihkan lantai tidak boleh kotor. Tapi sebersih apakah ‘tidak kotor’ itu sebenarnya?
Khalid ibn Walid ra bisa dibilang ‘bukan siapa-siapa’ ketika situasi memaksanya untuk menjadi pemimpin pasukan Muslim di Perang Mu’tah. Rasulullah saw telah menyerahkan bendera pasukan kepada Zaid ibn Haritsah ra, dan berwasiat agar memberikannya kepada Ja’far ibn Abu Thalib ra jika Zaid ra gugur, kemudian berwasiat lagi agar memberikannya kepada ‘Abdullah ibn Rawahah ra jika Ja’far ra gugur. Allah SWT berkehendak ketiga panglima nan gagah ini menjadi syuhada. Saat itulah kaum Muslimin berembuk dan mengangkat Khalid ibn Walid ra – yang belum lama masuk Islam – untuk menjadi pemimpin mereka. Khalid ra, yang di Perang Uhud mengayunkan pedangnya untuk menghabisi kaum Muslimin, kini menjadi Syaifullaah (Pedang Allah) yang akhirnya mampu membawa pasukan Muslim meraih kemenangan.
Dalam pasukan yang dikirim ke Perang Mu’tah itu, tidak tertutup kemungkinan ada yang jauh lebih senior, jauh lebih bagus ibadahnya, dan jauh lebih baik akhlaq-nya daripada Khalid ra. Apalagi, sebelum memeluk Islam, Khalid ra bertahun-tahun mendapat pendidikan dari sang ayah, Walid bin al-Mughirah, yang sangat memusuhi Islam. Akan tetapi, Khalid ra adalah orang yang sangat pas untuk memimpin pasukan Muslim, baik di Perang Mu’tah ataupun di perang-perang sesudahnya.
Jika kita ingin mencari ‘kain pel’ yang putih bersih tanpa noda sama sekali, tentu kita akan berpaling kepada orang-orang yang sudah lama memeluk Islam, atau yang telah membersamai Rasulullah saw sejak dahulu, misalnya Abu Bakar ra. Akan tetapi, jika yang dibutuhkan adalah seorang panglima, maka Khalid ra nyaris tak punya pesaing.
Tentu saja kita tidak hendak mengatakan bahwa ‘kain pel’ yang bersih itu tidak penting. Hanya saja, dalam banyak kasus, kita tidak perlu menunggu kedatangan kain pel yang bersih mengkilat sebersih kain pel di toko sebelum akhirnya benar-benar membersihkan lantai. Tidak semua kondisi ideal dapat tercapai. Bahkan seringnya, jika kita menunggu-nunggu kondisi ideal terjadi, maka kita tidak akan beranjak dari tempat kita berada sekarang. Orang-orang tua jaman dahulu sudah mengajarkan sebuah kebijakan: tak ada rotan, akar pun jadi.
Di tengah-tengah generasi Muslim akhir jaman ini, ke manakah akan kita cari seorang Abu Bakar ra atau seorang ‘Umar ibn al-Khaththab ra? Di manakah akan kita temukan sang pemimpin yang bersih tiada cela, yang kuat ibadahnya, terpuji akhlaq-nya dan cemerlang akalnya, hingga kita tak bisa menyebutkan barang satu saja keburukannya?
Betapa banyak orang yang merasa dirinya terlalu suci untuk bergabung dengan yang lain. Ia dapat menghitung secara terperinci sekian ratus kesalahan mereka. Shalatnya salah di sini dan di situ, caranya mendidik anak kurang begini dan begitu, kesehariannya masih kurang yang ini dan itu. Ia merasa tak punya harapan jika harus bergabung dengan orang-orang yang dianggapnya tak membuatnya lebih baik. Ia lupa bahwa – andaikan benar – tak ada orang yang bisa membawa kebaikan pada dirinya, maka ia sendirilah yang berkewajiban membawa kebaikan itu pada orang-orang di sekitarnya.
Betapa banyak orang yang bagus ibadahnya namun menyimpan semua kebaikan untuk dirinya sendiri. Ia membenci si pelaku dosa sebagaimana ia membenci dosa itu. Ia selalu sendiri, karena di sekelilingnya hanya ada para pembuat dosa, dan ia khawatir ia pun akan melakukan dosa yang sama jika bergaul bersama mereka. Ia hibur dirinya sendiri dengan kata-kata Rasulullah saw yang mengisyaratkan bahwa kelak orang-orang yang memegang teguh agama ini akan menjadi ‘asing’. Ia lupa sama sekali bahwa setiap kamus bahasa Indonesia selalu membedakan makna “orang asing” dengan “orang yang mengasingkan diri”.
Pada akhirnya, ia menghibur dirinya sendiri dengan menolak semua tuduhan bahwa ia telah memelihara penyakit ukhuwwah dalam dirinya sendiri. Muncullah kalimat seperti di atas tadi, yang menegaskan bahwa ia siap bergabung kapan saja dan berkomitmen penuh, asalkan yang hadir di hadapannya adalah kelompok yang serbasempurna dan tak pernah salah.
Janganlah heran sekiranya orang semacam ini pada akhirnya selalu berjalan sendiri. Kalaupun ia menemukan teman-teman yang segagasan dengannya, mereka hanya akan berkumpul (atau lebih tepatnya bergerombol) dan tidak jalan ke mana-mana. Mereka hanyalah sekumpulan orang malang yang diam sambil menunggu kendaraan yang tak kunjung lewat, sambil mengutuki jaman yang terus berganti.
Manusia, sebagaimana yang telah kita maklumi bersama, bukan hanya tak ada yang sempurna, namun juga tak bisa menyempurnakan dirinya sendiri. Setiap anak dibesarkan bukan atas usaha dirinya sendiri, bukan pula hanya oleh kerja keras kedua orang tuanya, melainkan juga oleh lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu, duhai tuan-tuan, pahamilah bahwa masyarakat yang sakit parah selamanya takkan melahirkan pemimpin yang baik. Bolehlah berikan pengecualian kepada para Nabi, karena mereka dibimbing langsung oleh Allah. Tapi di luar itu, berlaku hukum yang sama.
Maka, duhai tuan-tuan yang suci, janganlah bermimpi akan berjumpa dengan pemimpin besar nan adil jika masyarakatnya masih jauh dari nilai-nilai kebaikan. Jika para guru dan orang tua masih ridha siswa-siswi menyontek asalkan lulus UN, maka janganlah menolak takdir jika kelak mereka makan uang haram hasil korupsi. Jika orang tua masih susah mematuhi rambu lalu lintas atau menerobos lampu merah, janganlah terlalu kecewa sekiranya sang anak cepat belajar dan melanggar segala aturan dengan mudah di usia remaja. Dan tentu saja, jika engkau, tuan-tuan yang suci ini, tidak pernah membimbing umat untuk menyucikan diri dan perbuatannya, maka jangan memasang impian terlalu tinggi agar kelak suatu hari negeri ini makmur sejahtera dan dilimpahi rahmat Allah SWT dari segala penjurunya.
Orang-orang beriman tidak mengenal putus asa selama mereka masih merasakan kebersamaan dengan Allah SWT. Kita tidak berputus asa dengan negeri ini, sebagaimana kita tidak berputus asa dengan perkumpulan atau organisasi apa pun yang kita bentuk untuk membangun negeri. Jika ada kekurangan, maka itulah kenyataan, sebagaimana kenyataan yang biasa kita hadapi di tengah-tengah generasi Muslim akhir jaman ini. Kita telah berdamai dengan kenyataan bahwa keadaan negeri ini masih jauh dari ideal, dan kita berusaha menyelamatkannya dengan berbagai cara. Oleh karena itu, kita berdamai pula dengan kenyataan bahwa orang-orang yang memiliki komitmen sama dengan kita pun masih jauh dari ideal, namun kita menghargai tekadnya untuk terus memperbaiki diri dan mensyukuri kenyataan bahwa masih ada sekelompok orang yang mau menerima kita dengan segala kekurangan kita.
Berhentilah menunggu. Kemenangan yang sesungguhnya takkan hadir di depan mata dan tak bisa kaubeli begitu saja. Kemenangan itu ada di depan sana, menunggu orang-orang yang siap untuk jatuh-bangun dalam memperjuangkannya. [pkspiyungan]
0 comments:
Post a Comment